Alasan Ulama Melarang Perempuan Haid Berpuasa
Beberapa hari ini kita dihidangkan informasi tentang pendapat ulama yang menyatakan perempuan yang sedang menstruasi atau haid boleh berpuasa Ramadhan.
Tentu informasi ini telah menyedot perhatian banyak pihak. Terutama bagi orang-orang yang selama ini mempunyai perhatian terhadap isu-isu perempuan dalam Islam. Karena sejauh ini, pendapat umum, jumhur ulama, yang berkembang, khususnya di Indonesia, yang berkaitan dengan hukum perempuan yang sedang haid adalah tidak boleh puasa.
Seperti pendapat Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H) dalam kitabnya al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962 seperti dikutip islami.co.
لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi perempuan selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi perempuan haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”
Bahkan ada ulama yang mengharamkan perempuan untuk berpuasa. Seperti yang disampaikan Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H) al-Ibhâj Fî Syarh Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl, vol.1, hal.79.
وامتناع الصوم شرعا على الحائض بالإجماع فيحرم عليها ولا يصح
“Larangan berpuasa menurut agama bagi perempuan haid adalah berdasarkan ijma‘, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah”.
Masih banyak lagi ulama-ulama yang tidak membolehkan perempuan untuk berpuasa. Pelarangan terhadap perempuan haid untuk berpuasa merupakan kesepakatn para ulama fiqh. Alasan para ulama kebanyakan mengacu ke dua hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي زَيْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abu Maryam berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibnu Aslam- dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari raya ‘Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: “Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian.” Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari – 293)
Selain hadis di atas, hadis di bawah ini juga dijadikan alasan pelarangan perempuan untuk menjalankan ibadah puasa.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَأْمُرُنَا بِهِ أَوْ قَالَتْ فَلَا نَفْعَلُهُ
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam berkata, telah menceritakan kepada kami Qatadah berkata, telah menceritakan kepadaku Mu’adzah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah seorang dari kita harus melaksanakan shalat yang ditinggalkannya bila sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari kelompok Khawarij! Sungguh kami pernah mengalami haid di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak memerintahkan kami untuk itu.” Atau Aisyah mengatakan, “Kami tidak melakukannya (mengqadla`).” (HR. Bukhari-310)
Selain alasan yang mengacu ke hadis-hadis di atas, para ulama juga mendasarkan alasan pelarangan perempuan untuk menjalankan ibadah puasa karena alasan medis yaitu untuk kesehatan perempuan itu sendiri.
Alasan kesehatan tersebut dikemukan oleh Doktor Sholeh Ibn Abdullah Allahim dalam kitabnya Al-Ahkâmul Mutharatibah Alâl Haidh Wannifâsi wal Istihâdhah hal. 92. Pendapatnya ini merujuk pada kitab Al-Bahrul Raiq. Ia mengatakan bahwa pendarahan (haid) itu melemahkan tubuh. Apalagi jika kondisi ini digabung dengan ibadah puasa. Ini akan merugikan tubuh perempuan.
لأن نزول الدم يضعف البدن، فلو اجتمع مع الصوم أضرا با لبدن
Demikian alasan kebanyakan para ulama melarang perempuan untuk berpuasa. Selain alasan teks keagamaan ternyata juga mempertimbangkan persoalan medis yaitu kesehatan perempuan. Waallahu’alam.***