Bacaan Niat Puasa Ramadhan yang Benar Menurut Ilmu Nahwu

Sumber foto: Minangkabaunews

Puasa Ramadhan sebentar lagi menghampiri kita semua. Umat Islam di seluruh dunia bersiap-siap menyambutnya. Termasuk umat Islam di Indonesia. Budaya dan ajaran Islam menyatu menjadi tradisi yang yang dirindukan. Seperti bersilaturahim kepada orang tua dan saudara, ruwahan, ziarah kubur dan sebagainya.

Namun demikian, kewajiban muslim di bulan Ramadhan adalah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Tentu kewajiban ini bagi muslim yang sehat dan bisa menjalankannya. Bagi yang tidak bisa karena sakit, dalam perjalanan atau sebab lain, hukumnya diatur tersendiri.

Bagian yang tak terpisahkan dalam menjalankan puasa Ramadhan adalah niat berpuasa. Meskipun niat itu dalam hati tetapi di Indonesia, ada tradisi melafalkan niat puasa Ramadhan secara bersama-sama dan diucapkan secara nyaring usai menjalankan shalat sunah tarawih.

Lalu bagaimana melafalkan niat puasa Ramadhan yang benar menurut ilmu Nahwu atau tata bahasa Arab?

Ini penjelasan Kyai Asimun dari MWC NU Cipayung Jakarta Timur.

Pertama, melafadzkan “ROMADHONA” dalam niat puasa seperti berikut ini:  

“Nawaitu shouma ghodin ‘an-adai fardhis syahri ROMADHONA hadzihis sanati Lillahi Ta’ala”

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى

Jika lafazh romadhon dibaca ROMADHONA kedudukannya jadi ISIM GHOIRU MUNSHORIF (isim yang tetap dibaca fathah (NA) tidak menerima perubahan akhir kalimatnya (NA, NI, NU).

Pendapat ini didasarkan kepada nadham Alfiyah Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî alias Ibnu Malik

وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤  مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ

“Tandailah jar isim ghairu munsharif dengan fathah, selagi tak di-idhafah-kan (digabung dengan kata setelahnya) atau tidak menempel setelah ‘al’.”

Kedua, melafdzkan dengan “ROMADHONI” yaitu “Nawaitu shouma ghodin ‘an-adai fardhis syahri ROMADHONI hadzihis sanati Lillahi Ta’ala.”

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Jika lafazh romadhon dibaca ROMADHONI kedudukannya menjadi MUDHOF yang harus dibaca kasroh (NI).

Jika ramadlâni diposisikan sebagai mudhaf (disamping sekaligus jadi mudhaf ilaih-nya “syahri”) maka hadzihis sanati mesti berposisi sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah.

Pendapat ini mendasarkan pada kaidah nahwu alfiyah Ibnu Malik yaitu:

وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِفْ

“Dan dijerkan dengan FATHAH terhadap isim yang tidak menerima tanwin, selama tidak dimudhofkan atau berada setelah AL yang mengiringinya.”

Dalam kajian ilmu nahwu, romadhon adalah isim ghoiru munshorif (tidak berubah). Kata romadhon adalah isim alam yang ada tambahan alif dan nun, yang apabila majrur maka alamatnya dengan FATHAH, namun apabila menjadi mudhof atau kemasukan Alif-Lam (AL) maka majrurnya isim ghoiru munshorif menggunakan KASROH menjadi ROMADHONI (kasroh) bukan ROMAHONA (fathah).

Imam Ibnu Malik di dalam bait alfiyahnya berkata,

وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِفْ

“Dan dijerkan dengan FATHAH terhadap isim yang tidak menerima tanwin, selama tidak dimudhofkan atau berada setelah AL yang mengiringinya.”

Menurut Kyai Asimun, kedua niat puasa di atas memiliki arti yang sama yaitu, “Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala.”

Dan niat puasa tetap SAH walaupun salah i’rob di dalamnya, karena letak niat itu di dalam hati. Namun apabila niat diucapkan, maka hendaknya tidak salah dalam i’rob.

Demikian penjelasan tentang lafadz atau bacaan niat dalam pandangan ilmu nahwu. Wallahu’alam.***

0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x