“Bukan sekedar Birahi”: Hubungan Seksual sebagai Ibadah
Dalam pandangan Islam, hubungan seksual dalam pernikahan tidak hanya dikategorikan sebagai hubungan biologis saja. Hubungan seks dalam Islam juga dikategorikan sebagai bagian yang mengandung unsur ibadah. Mengapa demikian?
Saya teringat ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (Vol. II, No. 1674), bahwa Rasul pernah bersabda: “bahwa dalam hubungan seksual di antara kalian adalah sedekah. Para Sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana bisa melampiaskan hasrat seksual kepada istri akan mendapatkan pahala? Rasul menjawab: bagaimana pendapatmu apabila ada yang melampiaskan syahwat pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya melampiaskan syahwat pada yang halal akan mendatangkan pahala.”
Beberapa perempuan dalam penelitian saya juga menyatakan bahwa melakukan hubungan seksual dengan para suaminya sebagai ibadah yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mereka tidak hanya menjadikan hubungan tersebut sebagai bagian dari pelampiasan nafsu birahi saja, tetapi juga dalam rangka mendapatkan pahala Allah.
Apalagi apabila tujuan dari hubungan tersebut diarahkan untuk mendapatkan keturunan (anak) yang shaleh/shalehah. Itulah sebabnya, sebelum melakukan hubungan seksual dalam Islam ada etikanya tersendiri dan ada doa khusus (lihat artikel sebelumnya) agar dalam melakukan hubungan tersebut tidak ada intervensi syetan atau untuk tujuan-tujuan yang tidak baik.
Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa hubungan seksual yang seperti apa yang akan mendapatkan pahala dari Allah? Tentunya apabila hubungan tersebut adalah hubungan yang mengantarkan kedua belah pihak pada kebaikan dengan penuh rasa kasih dan sayang, rasa nyaman, saling menghargai keinginan masing-masing dan bebas dari kekerasan.
Namun demikian, dalam pengamatan saya, ada penyalahgunaan dalam penggunaan istilah ibadah untuk hubungan seksual ini. Biasanya term ibadah ini kemudian dijadikan ‘senjata’ oleh para suami untuk memaksakan kehendaknya dalam hubungan seksual dengan istrinya.
Dengan dalih ibadah tentunya istri akan merasa bersalah bila tidak mengikuti keinginan suami walaupun istri merasa tidak nyaman dalam hubungan tersebut. Karena, selain itu juga ada pernyataan bahwa bila menolak akan mendapatkan konsekuensi keagamaan atau dosa.
Oleh sebab itu, para istri biasanya mengasosiasikan keterpaksaannya dalam melayani suami dalam hubungan seksual sebagai pengorbanan dan tabungan mereka di akhirat nanti, karena ada nilai ibadah di dalamnya. Dalam hal ini, meminjam istilah dari Hoel & Shaikh (2013: 81) ada “logika keterpaksaan” dalam term seks sebagai ibadah yang mengantarkan para istri untuk tidak boleh menolak ajakan ‘ibadah’ tersebut. Logika inilah yang kemudian dijadikan justifikasi oleh para suami untuk memaksakan kehendaknya dalam hubungan seksual.
Tentunya logika berfikir seperti ini tidak lagi dipergunakan dalam hubungan seksual antara suami dan istri. Lakukanlah relasi seksual ini sebagai relasi untuk saling memberikan kesenangan untuk kedua belah pihak dengan memperhatikan kesediaan untuk melakukannya secara bersama-sama terbebas dari keterpaksaan.