Cerita Perjuangan Pasangan Beda Agama Mewujudkan Pernikahannya
Namanya Vonny Gani, seorang Muslimah. Ia menjalin hubungan cinta dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan, seorang laki-laki beragama Kristen Protestan.
Sebagai sepasang kekasih yang telah menjalin cinta, seperti pasangan lainnya, mereka juga ingin perjalanan cintanya berujung ke pelaminan, menikah. Namun pasangan yang satu ini, ada kendala untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Pasalnya mereka berbeda agama. Meskipun demikian, mereka sudah berbulat hati, ingin bersatu dalam ikatan pernikahan yang diakui oleh negara.
Untuk mewujudkan keinginan mulianya tersebut, mereka memutuskan untuk mendaftarkan permohonan pernikahannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) di mana mereka tinggal yaitu KUA Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Namun apa yang terjadi, permohonan pernikahan mereka ditolak oleh KUA dengan surat No. K2/MJ-I/834/III/1986 tanggal 5 Maret 1986. Alasannya tentu kita semua sudah tahu, karena mereka berbeda agama. UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama.
Sejoli ini tidak patah arang, mereka terus berusaha mewujudkan pernikahannya. Kali ini mereka mengajukan permohonan pernikahannya ke Kantor Catatan Sipil Ibu Kota Jakarta. Apa yang terjadi? Permohonan mereka pun ditolak dengan surat No.655/1.1755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986.
Untuk kedua kalinya pasangan beda agama ini mendapat penolakan dari lembaga yang semestinya memberikan kepastian hukum bagi pernikahan mereka. Tetapi mereka tidak putus harapan. Mereka mengajukan permohonan pernikahannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Apa yang terjadi?
Pengadilan Negeri pun menolak permohonan pernikahan mereka melalui Penetapan No.382/PDT/P/1986/PN.JKT.PST. Pengadilan pun membenarkan penolakan yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil (KCS) sebelumnya.
Selanjutnya apa yang dilakukan pasangan tersebut? Apakah mereka menyerah? Ternyata tidak. Mereka mengajukan kasasi permohonan perkawinannya ke Mahkamah Agung.
Apakah MA menolak juga?
Tenyata di luar dugaan. MA mengabulkan permohonan kasasi pasangan tersebut untuk menikah dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt./1986. Tentu ini sesuatu yang cukup berani bagi keputusan hukum perkawinan beda agama di tengah ketatnya hukum kebolehan pernikahan beda agama.
Salahsatu pertimbangan hukum MA dalam putusannya adalah pemohon dianggap in cassu Islam atau tidak menghiraukan agamanya dan dianggap keluar dari agama Islam karena telah berupaya mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Sehingga Pasal 8 sub f Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt./1986 tentang perkawinan beda agama ini seringkali dijadikan yurisprudensi untuk kasus-kasus pernikahan beda agama. Meski demikian, dalam pertimbangan hukumnya MA menafsirkan bahwa pihak perempuan yang beragama Islam sudah tidak dianggap lagi sebagai beragama Islam. Dengan demikian, yang terjadi sesungguhnya adalah perkawinan satu agama. Karena itu, perkawinan beda agama di Indonesia, secara hukum negara, tidak ada peluang untuk bisa dilakukan. Wallahu a’lam Bishawab.***