[CERPEN] Keropak Perkawinan
Mumun, begitu gadis itu disapa di lingkungannya. Ia beralis bulan sabit, hidungnya bagai hidung bule serta tatapannya lembut. Bodinya bagai biola spanyol begitu kata pujangga. Lulusan universitas pula.
Tentu, Mumun mempunyai nilai lebih. Karenanya orang tua Mumun pun ingin mendapatkan pasangan untuk anak gadisnya itu laki-laki yang sepadan.
Waktu kuliah dulu, Mumun menjadi kembang kampus. Banyak kumbang yang ingin mendekatinya. Ia jadi rebutan mahasiswa seangkatannya maupun seniornya.
Ia sempat jatuh dalam pelukan kakak seniornya. Tapi cintanya kandas karena tidak mendapat restu orang tuanya.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah ia lulus kuliah, si kembang kampus itu luluh lagi hatinya dengan seorang pemuda mapan lulusan universitas ternama bernama Edward. Pemuda asal kota Mayang berusia matang yang menaburkan mimpi indah, membuat ia melayang.
Si pemuda ini ingin sekali segera naik pelaminan dengan si hidung bule itu. Tapi orang tua si gadis ini tidak mau terburu-buru. Alasannya ia baru saja menikahkan anak laki-lakinya, kakak gadis itu yang bernama Ahmad.
“Jangan terburu-buru Pak, karena kami belum lama menikahkan kakaknya,” kata Ayah Mumun ketika orang tua si pemuda itu berkunjung ke rumahnya untuk melamar anaknya.
Meski demikian, akhirnya ada kata putus untuk waktu pernikahannya. Waktunya sangat pendek untuk mempersiapkan sebuah pernikahan.
Untuk memastikan persiapan pernikahan, orang tua Mumun yaitu Pak Hamid dan Ibu Maesaroh juga kedua kakaknya dan seorang adiknya berkunjung ke rumah orang tua Edward.
“Begini Pak, setelah kami berunding dengan anggota keluarga yang lain, untuk tanggal 14 Maret yang telah disepakati semua kami tidak sanggup. Kami mengusulkan tanggal 26 April. Biar kami lebih leluasa mempersiapkannya.”
Kata Pak Hamid mengusulkan alternatif tanggal setelah berbasa-basi.
“Kalau tanggal itu kami gak bisa, no way!” Kata ayah Edward tegas cenderung sombong. Perbincangan penentuan tanggal pun seakan menemui jalan buntu.
“Kalau begitu, baiklah. Tanggal pernikahan tetap tanggal semula yaitu 14 Maret.” Kata Pak Hamid mengalah dengan perasaan terpojok. Hatinya penyok bagai ditonjok.
Pembicaraan selanjutnya mengenai uang bawaan dari pihak laki-laki.
“Untuk acara resepsi pernikahan, rencananya akan kami adakan di gedung.” Pak Hamid melanjutkan. Ia mengharap ada berbagi beban biaya acara tersebut dengan calon besannya.
“Kami bisa memberikan 50 juta untuk acara resepsi tersebut.” Kata ayah Edward to the point, seakan sudah mengerti jalan pikiran Pak Hamid.
“Kita membutuhkan dana minimal 100 juta untuk resepsi.” Pak Hamid menjelaskan. Ia seakan meminta tambahan dana dari keluarga Edward.
“Baik, kami tambahkan menjadi 75 juta. Tapi semua hasil kotak angpau untuk kami semua.” Sahut ayah Edward tegas.
Sepintas seperti transaksi jual beli. Keuntungan yang ingin diraih. Bukan kesepakatan kekeluargaan untuk mewujudkan perkawinan.
Pak Hamid dan keluarganya terkaget-kaget dengan ucapan ayah Edward.
“Tidak bisa begitu Pak. Di mana-mana uang dari keropak resepsi perkawinan itu buat keluarga perempuan semua.”
Kata Pak Hamid dengan nada geram. Kedua tangannya disilangkan di dadanya. Anggota keluarga Pak Hamid yang lain juga terlihat kesal mendengar kata-kata dari ayah Edward.
“Tidak begitu Pak, karena uang resepsi dari kami, maka uang hasil kotak angpau pun untuk kami semua.” Sekilas pendapat ayahnya Edward masuk akal. Tapi tak lazim dalam adat Betawi dan daerah Jawa lainnya.
Rapat seakan menemukan jalan buntu lagi. Keluarga Edward bersikeras dengan pandangannya. Mereka tidak peduli dengan kebiasaan yang ada di Betawi yang kebiasaanya hasil dari uang keropak perkawinan semua untuk keluarga perempuan.
Memang betul pihak keluarga laki-laki memberikan uang resepsi tersebut. Tapi penyelenggara acara itu pihak keluarga perempuan. Jadi wajar kalau hasil angpaunya untuk keluarga perempuan.
“Bagaimana kalau acara resepsi itu semua kami yang handle?” Kata ayah Edward setelah keluarga Mumun terlihat keberatan dengan pendapatnya.
“Gak bisa begitu Pak, di adat kami, keluarga perempuanlah yang mengadakan resepsi.”
Sahut Pak Hamid dengan menunjukkan muka ketidaksukaanya. Mukanya terlihat merah bagai bara menahan amarah.
“Resepsi tetap kami yang mengadakan. Hasil dari kotak angpau kita bagi dua.”
Pak Hamid mengusulkan lagi. Ia mencoba meredam emosinya dan memilih kalimat bijaksana yang dikeluarkan.
Ini kali kedua kekalahan keluarga Pak Hamid. Mereka harus mengalah lagi soal hasil keropak angpau. Setelah usulan tanggalnya tidak disetujui.
“Tidak bisa Pak, semua hasil kotak angpau untuk kami semua.” Ayah Edward menegaskan kembali.
Pak Hamid terkaget-kaget dengan pendapat keluarga Edward yang begitu kerasnya. Ia teringat kejadian di suatu acara pernikahan ada perebutan uang keropak perkawian antar besan. Pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan berantem berebut uang angpau undangan di tengah acara resepsi berlangsung. Tentu ini sangat memalukan. Pak Hamid tidak mau hal itu terjadi pada keluarganya.
Tetapi keluarga Edward calon besannya itu pendiriannya keras bagai batu, tidak bisa berkompromi.
Rapat pun berjalan buntu. Belum ada kata sepakat dari mereka. Keluarga Edward seakan ingin mengatur semuanya. Itu yang ada dalam pikiran keluarga Mumun.
Mereka merasa direndahkan di hadapan keluarga Edward. Mereka memang keluarga mapan, tapi tidak sepatutnya merendahkan keluarganya.
Kehadiran mereka ke rumah keluarga Edward sejatinya sebagai tamu calon besan. Tapi mereka merasa direndahkan dan seakan disidang di hadapan jaksa.
Karena mempertimbangkan perasaan si Mumun, anak dan adik tersayang mereka, semua tetap bertahan di tempat itu. Jika tidak, mereka sudah angkat kaki dari awal.
Alternatif terakhir, keluarga Mumun mengusulkan hanya akad nikah saja. Tidak ada resepsi pernikahan. Usulan yang tidak wajar di budaya Betawi. Tapi itu tetap dilakukan keluarga Pak Hamid demi menjaga perasaan anak gadisnya dan menjaga muka mereka dari rasa malu.
“Kalau begitu kita adakan hanya akad nikah saja.”
Ujar Pak Hamid dengan suara tidak bersemangat.
“Meski demikian, tetap ada uang bawaan dari pihak laki-laki.” Lanjut Pak Hamid.
Keluarga Edward langsung menanggapi. “Untuk apa uang itu?”
Pertanyaan yang semestinya tidak perlu dilontarkan. Karena semua orang tahu, meskipun hanya akad nikah, tidak berarti tidak ada pengeluaran.
Keluarga Pak Hamid tidak menjawabnya.
Tidak ada jawaban, tidak ada keputusan. Yang ada hanya kekecewaan dari calon mantu dan calon besan.
Akhirnya yang muncul di memori keluarga Pak Hamid dan keluarga Edward hanya hal-hal yang negatif. Keluarga Pak Hamid menilai keluarga Edward pelit, perhitungan dan berorientasi bisnis. Sementara keluarga Edward menilai keluarga Mumun membisniskan anak gadisnya.
Keputusan jadi atau tidaknya pernikahan Mumun dengan Edward akan ditentukan beberapa hari kemudian. Mereka membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Meskipun Pak Hamid dan keluarganya telah patah arang, tapi masih mempertimbangkan anak dan calon menantu. Karena mereka, Mumun dan Edward masih saling berkomunikasi.
Sementara, keluarga Edward masih menebar janji dan harapan untuk menjadikan Mumun sebagai menantunya.***