[Cerpen] Malam ini Kupinjam Suamimu
Perempuan cantik itu datang ke rumah dengan wajah ceria. Ia menenteng tas tangan terbuat dari kulit sintetis berwarna coklat. Gaun berlengan panjang hijau tosca membalut tubuhnya yang ramping.
“Mana suamimu?” ia bertanya dengan suaranya yang renyah.
“Masih di kantor,” jawabku.
“Malam ini, bolehkan aku meminjam dia?” ia menghampiriku.
“Sepertinya Mas Bram lembur.”
“Ah, sayang sekali. Tolong sampaikan pada suamimu, ya…aku menunggunya,” ia tersenyum sesaat. Lalu pamit pergi meninggalkan rumahku.
***
Mas Bram pulang ketika hari sudah larut. Aku menyiapkan kopi panas untuk mengurangi hawa dingin.
“Rin, lama aku tidak mengunjungi perempuan cantik itu,” ujar Mas Bram seraya menyeruput kopinya.
“Jangan malam ini, Mas. Udara sangat dingin. Aku ingin menghabiskan malam bersamamu,” aku merayunya. Mas Bram menatapku sesaat.
“Yuk, kita tidur…” aku menggelandot manja pada lehernya. Mas Bram meletakkan cangkir dan mengecup pipiku lembut.
“Aku temani kamu sebentar, ya. Tapi setelah itu, izinkan aku pergi menemuinya,” Mas Bram membimbingku menuju kamar.
Tentu saja aku tidak ingin malam ini Mas Bram pergi. Aku masih ingin berlama-lama menyusupkan kepalaku dalam pelukannya. Sengaja kuulur-ulur waktu agar ia tidak jadi pergi menemui wanita cantik itu.
Dan aku berhasil membuatnya tertidur pulas.
***
Esoknya Mas Bram berangkat ke kantor tanpa membahas keinginannya untuk bertemu wanita cantik itu lagi.
Tapi tak lama kemudian, sekitar pukul delapan, ponselku berbunyi.
“Wah, semalam aku menunggu suamimu. Tapi ia tidak datang. Bagaimana kalau malam nanti? Bolehkan aku pinjam suamimu?” suara renyah itu membuatku memberengut.
“Mungkin malam ini ia lembur lagi,” jawabku berbohong. Aku tahu Mas Bram hari ini pulang agak lebih cepat. Karena ini hari Sabtu.
“Oh, ya, sudah. Tapi seandainya ia memiliki waktu, tolong ya, sampaikan, aku menunggunya.” Aku tidak menyahut. Lalu pebicaraan terputus.
***
Saat Mas Bram pulang kantor, aku tidak mengatakan apa-apa tentang wanita cantik itu. Juga pesan yang dititipkannya padaku.
Seperti biasa, akhir pekan kami habiskan untuk menikmati udara sore. Aku mengajak Mas Bram mengunjungi sebuah pameran seni yang kebetulan tengah digelar di galeri tak jauh dari rumah kami.
Kami pulang ketika hari sudah malam. Mas Bram tampak sangat lelah. Kami pun memutuskan untuk langsung tidur.
Tengah malam kulihat Mas Bram terjaga. Ia tampak tergopoh meraih ponselnya. Seseorang menelpon. Pasti perempuan cantik itu! Aku mendengus kecil.
“Rin, aku harus pergi!” Mas Bram beranjak dari tempat tidur.
“Ini tengah malam, Mas!” sergahku. Mas Bram mengacuhkanku. Ia segera meraih jaket yang tersampir di belakang pintu dan kunci mobil. Lalu pergi dengan langkah tergesa.
Kulepas kepergian Mas Bram dengan rasa kecewa yang amat sangat.
***
Mas Bram pulang ketika hari menjelang pagi. Wajahnya tampak kusut masai. Aku mendiamkannya. Rasa kecewa dan marah masih belum sirna dari hatiku.
“Rin, jangan marah berlarut-larut,” Mas Bram meraih tubuhku dan mendaratkan ciuman bertubi pada keningku.
“Mas seharusnya tidak meninggalkanku!” aku merajuk.
“Buatkan aku sarapan dulu, ya. Setelah itu akan kuceritakan tentang kejadian semalam,” Mas Bram membimbingku menuju dapur.
Meski hatiku masih dongkol, kubuatkan juga suamiku sarapan. Sementara ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Usai menghabiskan sarapan, Mas Bram menepati janjinya. Ia menceritakan kisahnya semalam bersama wanita cantik itu.
“Ada kista dalam rahimnya yang harus segera diangkat, Rin. Malam itu juga kami berangkat ke Rumah Sakit. Dan rencananya hari ini operasi akan dilaksanakan,” tutur Mas Bram murung.
“Jadi ia sakit?” aku terlonjak kaget. Seketika perut buncitku bergerak-gerak. Janin dalam kandunganku yang berusia tujuh bulan menendang-nendang.
“Begitulah. Selama ini ia berusaha menyembunyikan sakitnya dariku.”
“Mas, ajak aku temui dia!”
“Nanti saja kalau dia sudah pulang. Mbak Santi berpesan agar kamu menjaga baik-baik kandunganmu.”
Aku tergugu. Merasa sangat bersalah terhadap wanita cantik itu. Wanita yang hidup sendirian sejak adik lelaki satu-satunya memutuskan menikah denganku.
***
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021