Desa Tanpa Rahim

Vanjarwadi sebuah desa di India disebut sebagai desa perempuan tanpa rahim. Setengah dari populasi perempuan di desa ini atau sekitar 4605 sudah melakukan operasi pengangkatan rahim (histerektomi). Hal ini terjadi karena desa tersebut masuk dalam daerah “sabuk gula” yang membutuhkan banyak perempuan untuk memotong tebu sebagai bahan baku gula.
Para kontraktor rakus menganggap siklus mentruasi perempuan menghambat produktifitas kerja pekerja perempuan. Mereka awalnya menolak menerima pekerja perempuan karena pekerjaan memotong tebu adalah pekerjaan yang berat. Bila ada perempuan yang tidak masuk karena terkait dengan kesehatan reproduksi mereka, maka para pekerja perempuan harus membayar finalti.
Para perempuan yang terbelit dengan kemiskinan akut, pada akhirnya melakukan operasi pengangkatan rahim agar terbebas dari siklus menstruasi sehingga bisa tetap bekerja untuk menghidupi keluarga.
Dampak dari diangkatnya rahim tanpa alasan medis yang jelas, tentu saja mengganggu kesehatan reproduksi perempuan pekerja. Mulai dari nyeri otot dan sendi, pusing kepala yang kerap datang, pembengkakan ekstrem pada organ reproduksi sampai komplikasi yang parah. (National Geographic Indonesia, 2019)
Informasi tentang desa tanpa rahim di atas sangat memprihatinkan. Betapa tubuh perempuan tidak lagi milik perempuan seutuhnya. Pihak lain dalam hal ini para kontraktor kapitalis yang serakah merasa memiliki kewenangan untuk memberi aturan, melakukan kontrol atas nama kekuasaan dan keuntungan. Berhadapan dengan perempuan lemah yang tidak punya pilihan di tengah kemiskinan. Mengapa tubuh perempuan selalu menjadi sasaran kekerasan?
Gagasan mengenai tubuh dan seksualitas sangat dipengaruhi oleh pandangan agama-agama, khususnya agama monoteisme dan filsafat Barat. Pada umumnya, agama dan filsafat Barat telah mempolarisasikan tubuh dan jiwa. Mengutamakan jiwa dan merendahkan tubuh. Perempuan adalah tubuh dan laki-laki adalah jiwa. Tubuh cenderung dilihat sebagai kendaraan bagi hasrat irasional, emosi dan nafsu liar, sesuatu yang harus “dimurnikan”, disucikan dan dikendalikan. Tubuh fisik adalah penjara bagi jiwa. (Bambang Sugiharto, 2000).
Dalam agama Kristen, para asketik dari Paulus sampai Ignatius mengatakan bahwa tubuh adalah musuh, mereka memukuli, mencambuk dan menyiksa musuh ini. Secara konstan mereka juga mempolarisasikan tubuh dan jiwa:mengorbankan kegembiraan yang pertama demi keselamatan yang kedua. Prinsipnya “tinggalkan iblis, dunia dan daging”; dan daging yang dimaksudkan selalu tubuh (Anthony Synnott, 2003),.
Dalam polarisasi tubuh-jiwa/pikiran yang dimuati hirarki nilai dan relasi kuasa, tubuh laki-laki dan perempuan ditempatkan selalu dalam oposisi biner. Seperti maskulin/feminin, superior/inferior, publik/privat, subjek/objek, aktif/pasif dan seterusnya dimana kualitas-kualitas sisi kanan dipandang positif dan superior untuk laki-laki sedang sisi kiri dipandang negatif dan inferior bagi perempuan.
Tubuh laki-laki dianggap mengekspresikan kreatifitas mereka lewat penciptaan budaya. Sebaliknya perempuan dipandang sentral dalam peran reproduksi biologis spesies, dan karena itu lebih dekat dengan alam. Sejak itu, laki-laki diidentikan dengan pikiran dan budaya, sedangkan perempuan diidentikan dengan tubuh dan alam.
Identifikasi laki-laki dengan pikiran dalam tradisi filsafat Barat telah dimanfaatkan untuk membenarkan dominasi politik laki-laki atas perempuan. Sebaliknya, identifikasi perempuan dengan tubuh digunakan sebagai bukti bahwa perempuan kurang mampu berpikir dan konsekuensinya, perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Seksualitas laki-laki dirumuskan sebagai sesuatu yang secara alamiah menguasai (superior), aktif dan normal yang mendorong mereka untuk berkuasa, seks perempuan dimitoskan sebagai seks yang pasif, suka berubah-ubah dan aneh (patologis), sehingga seks perempuan tak lebih dari objek hasrat seks laki-laki.
Lebih jauh ditanamkan pada perempuan dan menjadi keyakinan yang mendalam, bahwa kepuasan seks mereka terletak dan tergantung pada bagaimana mereka “menjadi wadah” bagi kepuasan seks laki-laki. laki-laki sebagai sang penakluk, pemangsa, adalah hal normal. Perempuan secara alamiah merupakan pihak yang ditundukkan (objek seksual).
Oposisi biner antara laki-laki dan perempuan ini dipandang alamiah, seperti langit-bumi, siang-malam. Dalam logika ini, perbedaan satu sama lain dilihat sebagai norma. Mitos-mitos ini diciptakan dalam rangka melayani kepentingan dan kebutuhan seksual laki-laki dalam bangunan ideologi phallosentris.(Maggie Humm, 2002) Seksualitas dalam konteks phallosentris berarti bahwa seksualitas dipahami sebagai kenikmtan (pleasure) dari penis (phallus) dan lebih jauh, kenikmatan penetrasi penis ke vagina perempuan untuk laki-laki.
Menurut Maggie Humm konsep phallosentris terkadang dikenal dengan nama androsentris dimana phallo yang berarti penis dipandang sebagai simbol kekuasaan dan dipercaya bahwa atribut-atribut maskulinitas merupakan norma bagi rumusan kultural. Phallosentrisme merupakan sumber penindasan perempuan adalah dasar dari partiarki yang mewarnai tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Sebagai sebuah ideologi, phallosentrisme yang berupa seperangkat gagasan yang bisa menjadi senjata untuk kepentingan sosial menjadi sangat besar pengaruhnya. Ideologi ini pengaruhnya tidak hanya dalam kehidupan individu maupun masyarakat, tetapi juga pada cara berfikir, penghayatan dan bahkan kenikmatan. Di luar kesadaran kita, ideologi seksual lebih merasuk dan mendominasi daripada ideologi totaliter manapun. (Julia Suryakusuma,2012).[1]
Kuatnya konstruksi dan sistem sosial budaya di atas yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat yang menyebabkan tubuh, seksualitas, kesehatan bahkan eksistensi perempuan dipenuhi berbagai permasalahan yang berujung pada kerentanan dan kekerasan pada tubuh perempuan.
Menstruasi sendiri tidak dianggap sebagai pengalaman biologis perempuan yang berkontribusi pada kehidupan. Namun malah dijadikan beban dan alat untuk menindas perempuan seperti yang terjadi di Vanjarwadi. Untuk itu diperlukan perlawanan mulai dari sebuah kesadaran bahwa perempuan adalah manusia dan harus diperlakukan manusiawi.
Daftar Pustaka:
https://nationalgeographic.grid.id/read/131778511/agar-tak-ganggu-pekerjaan-setiap-menstruasi-wanita-india-dipaksa-operasi-angkat-rahim?page=all diakses 6 September 2019 pukul 10.00 WIB
Bambang Sugiharto, “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Budaya”, jurnal Kalam edisi 15, (Februari, 2000), 27-28.
Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme Diri dan Masyarakat (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 11-12
Maggie Humm, Enslikopedia Feminisme, terjemahan oleh Mundi Rahayu (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 432.
Julia Suryakusuma, Agama,
Seks dan Kekuasaan (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2012), 168.
- Desa Tanpa Rahim - 06/09/2019
- Ada Apa Dengan Menstruasi? - 30/08/2019
- Dua Garis Biru dan Kesehatan Reproduksi Remaja - 09/08/2019