Fatwa MUI tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kawin kontrak atau nikah mut’ah belakangan sedang ramai lagi menjadi perbincangan di media online. Pernikahan yang dibatasi waktunya ini sering terjadi di wilayah Puncak Cianjur Jawa Barat terutama ketika musim haji tiba. Konon diberitakan sejumlah media, para pelaku kawin kontrak ini adalah kebanyakan para wisatawan dari Timur Tengah yang sedang berlibur di sekitar wilayah berudara dingin tersebut.
Lalu apa sebenarnya hukum kawin kontrak dalam Islam?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1997 telah mengeluarkan fatwa tentang hukum nikah mut’ah atau kawin kontrak ini.
Sebelum lebih jauh melihat hukum nikah mut’ah sebaiknya mari kita melihat dulu arti nikah mut’ah ini.
Nikah Mut’ah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu, dan otomatis akadnya putus setelah batas waktu tersebut tanpa harus ada cerai dari suami juga tidak ada waris-mewarisi.
Dalam salah satu pertimbangan fatwanya, MUI menyebutkan wahwa dikeluarkannya fatwa ini karena praktek nikah mut’ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.
Pertimbangan lain MUI tentang dikeluarkannya fatwa tentang nikah mut’ah ini adalah bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
Selain pertimbangan di atas, argumentasi yang substansial juga disodorkan MUI yaitu dengan menghadirkan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi.
Ayat yang dikutip adalah (QS. Al-Mukminun [23]: 5-6).
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ
اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ
“Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela” (QS. Al-Mukminun [23]:5-6)
Menurut fatwa MUI, ayat ini menjelaskan bahkwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan kepada perempuan sebagai istri atau jariah. Sedangkan perempuan yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri atau sebagai jariah. Menurut MUI, perempuan yang diambil secara mut’ah bukan jariah, karena akad mut’ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1) Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
2) Iddah Mut’ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3) Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah.
4) Dengan melakukan mut’ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena perempuan yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan perempuan berstatus sebagai istri dan tidak pula berstatus jariah.
Selain dalil dari ayat al-Qur’an, fatwa MUI juga mendasarkan argumentasinya dari hadis Nabi. Salah satu hadis yang dipakai adalah hadis tentang pembatalan kebolehan nikah mut’ah (nasakh).
“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR. Muslim)
Dengan mempertimbangkan alasan dan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis di atas MUI memutuskan bahwa nikah mut’ah atau kawin kotrak adalah haram hukumnya. Karena nikah mut’ah juga bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.
Demikian fatwa MUI tentang hukum nikah mut’ah. Semoga sedikit memberikan gambaran tentang hukum nikah mut’ah. ***