Hati-hati Membuat Jendela di Loteng, Bisa-bisa Terkena Perdata
Anda berencana meningkat rumah? Sebaiknya Anda hati-hati jika membuat jendela di loteng. Jangan sampai dikomplain tetangga atau bahkan diajukan ke pengadilan karena kasus perdata.
Ceritanya begini.
Seseorang sedang meningkat rumahnya. Awalnya terlihat berjalan baik-baik saja. Para tetangga ikut senang dengan rencana tersebut. Karena para tetangga sama-sama tahu bahwa tetangga yang akan meningkat rumahnya tersebut memang membutuhkannya. Selama ini ia hanya punya dua kamar tidur. Sementara anaknya empat: laki-laki dua, perempuan dua dan sudah dewasa semua. Bahkan satu anak perempuannya sudah menikah dan mengontrak di tempat lain. Meski demikian, tetap saja dua kamar tidak memadai. Satu kamar dipakai oleh dua anak laki-lakinya. Satu kamar lagi digunakan oleh anak perempuannya yang sudah kuliah. Lalu dimana orang tuanya tidur? Saya sendiri tidak pernah tahu.
Maka ketika keluarga ini berencana meningkat rumahnya, kami sebagai tetangga ikut senang juga. Pembangunan pun segera dimulai. Sebagai tetangga, kami tidak tahu desain dan layout ruangannya seperti apa. Biarlah itu privasi bagi tetangga yang mau membangun. Berapa kamar yang akan dibuat, berapa jendela yang akan dipasang, itu semua hak prerogratif tetangga yang membangun. Kami para tetangga tidak ikut campur.
Singkat cerita, pembangunan tingkat sudah mulai terlihat wujudnya. Di lantai atas dibangun satu kamar. Jendelanya kebetulan menghadap ke rumah tetangga kami yang lain. Samping kanan rumah yang membangun itu memang berbatasan langsung dengan tetangga kami yang lain. Awalnya saya melihat ada lubang di dinding kamar itu terbuka yang disiapkan untuk dipasang jendela, cukup lebar. Berikutnya dinding itu ditutup sebagian, lubang lebih kecil. Akhirnya ditutup semua, tidak jadi dibuat jendela. Hal ini mengundang tanda tanya saya.
Pada suatu malam ketika kami ngobrol-ngobrol dengan tetangga, saya ajukan rasa penasaran saya.
“Kok ditutup tembok itu, gak jadi bikin jendela?” tanya saya. “Emang siapa yang memberi izin!” Timpal tetangga saya yang kebetulan berbatasan langsung dengan tetangga yang sedang membuat loteng itu. Nadanya menunjukkan ketidak sukaannya. “Itu tidak boleh dilakukan.” Katanya lagi menambahkan. Saya memprotesnya. “Selama ia membuat jendela di tanahnya sendiri dan tidak melampaui tanah orang lain kenapa tidak boleh?” Kata saya.
Dalam pikiran saya, tetangga yang berdampingan dengan tetangga saya yang sedang membangun itu tidak berhak melarang dan menghalangi tetangga yang sedang membangun itu membuat jendela selama tidak melampaui batas tanahnya sendiri. Sebagaimana tetangga saya yang sedang membangun itu tidak berhak melarang dan menghalangi tetangga sebelahnya membuat tembok yang pada akhirnya menutupi jendelanya. Saya akui, saya berpendapat demikian itu tidak mengacu kepada aturan hukum tertentu. Hanya semata-mata menggunakan logika hukum saja.
“Tidak mas. Tidak boleh. Itu ada aturannya.” Saya masih tetap ngotot berpegang dengan logika hukum yang saya pahami. Bahwa itu boleh saja selama tidak melanggar hak orang lain. “Jujur saja mas, istri saya itu kalau keluar kamar mandi hanya pakai handuk saja. bahkan saya sering telanjang kalau dari kamar mandi”. Kata tetangga saya itu. Dari penjelaan itu saya mulai paham bahwa ini persoalannya bukan terkait pelanggaran tanah tetapi hak privasi yang terganggu.
Suatu hari tetangga saya itu memberitahu saya secara tidak langsung bahwa aturan hukum itu ada di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Saya melacaknya. Saya pun menemukannya. Saya dibuat tidak percaya dengan aturan itu. Pasal itu berbunyi begini:
Pasal 647 KUH Perdata
Orang tidak diperbolehkan mempunyai pemandangan langsung ke pekarangan tetangga yang tertutup atau terbuka maka tak bolehlah ia memperlengkapi rumahnya dengan jendela, balkon atau perlengkapan lain yang memberikan pemandangan ke pekarangan tetangga itu, kecuali bila tembok yang diperlengkapinya dengan hal-hal itu jaraknya lebih dari dua puluh telapak dari pekarangan tetangga tersebut.
Menurut Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dari hukumonline.com buku II KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku kecuali pasal-pasal yang dinyatakan sebaliknya setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”). Meski demikian, dalam praktiknya, hal-hal yang belum diatur dalam UUPA tetapi diatur dalam KUH Perdata masih berlaku dan diterapkan. Sebagai contoh adalah hak servituut atau erfdienstbaarheid yang diatur dalam Pasal 674 sampai Pasal 710 KUH Perdata, yakni suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan.
Dalam kesempatan lain, saya ngobrol santai dengan tetangga yang merasa hak privasinya terganggu tersebut. Saya bertanya lebih detail tentang masalah pembuatan jendela tetangga saya tersebut.
“Sebenarnya kalo dari awal diomongin dengan baik sih semuanya bisa diatur. Apalagi kitakan sudah seperti keluarga. Misalnya jendela dibuat lebih tinggi atau kacanya memakai yang tidak bisa melihat ke bawah. Ini soal komunikasi saja”. Kata tetangga saya itu.
Dari kasus ini saya jadi belajar bahwa untuk melakukan sesuatu yang akan berkaitan dengan orang lain sebaiknya dibicarakan dulu agar orang lain tidak merasa terganggu atau terampas hak privasinya.[]