Hukum Laki-Laki Muslim Menikahi Perempuan Ahli Kitab

Sumber foto: freepik

Ketika membahas hukum pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab salahsatu dasar sebagai acuannya adalah QS. Al-Maidah [5]: 5 yang artinya berbunyi begini:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

Mayoritas ulama menafsirkan ayat ini terkait dengan “Perempuan Ahli Kitab” adalah perempuan yang percaya terhadap agama samawi, seperti orang Yahudi atau Nasrani. Ahli Kitab adalah para pemegang kitab Taurat dan Injil.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab di sini, adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani (Kristen), baik dzimmi maupun harbi sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya “al-Fiqhu Wa Adillatuhu”.

Namun, beberapa ulama berpendapat bahwa yang halal dinikahi hanyalah yang dzimmi, sedang yang harbi hukumnya haram. Ulama tersebut adalah Abdullah ibn Abbas dari kalangan sahabat, dan didukung Dr. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dari kalangan ulama kontemporer.  Begitu menurut temuan Zainul Mu’ien Husni  dalam jurnal Turos Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015

Alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang mengharamkan perempuan ahli kitab: Yahudi dan Nasrani adalah bahwa doktrin teologis kedua agama tersebut mengandung unsur-unsur syirik (politeisme). Hal ini karena Nabi Uzair dalam teologi Yahudi dan Nabi Isa a.s  dalam teologi Nasrani masing-masing diposisikan sebagai anak Tuhan.

Para fuqaha atau ahli fikih dari empat mazhab, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad – telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani.

Hal itu sesuai firman Allah SWT :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

”(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan merdeka [al muhshanat] di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).

Dalam kalangan Hanafiyyah, as-Syarakhsi (w. 483 H) dalam kitabnya al-Mabsuth menjelaskan:

 (قَالَ): وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُسْلِمُ الْحُرَّةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ… سَوَاءٌ إسْرَائِيلِيَّةً كَانَتْ أَوْ غَيْرَ إسْرَائِيلِيَّةٍ

Tidak apa-apa seorang laki-laki muslim yang merdeka menikahi perempuan ahli kitab… baik dari Bani Israil maupun tidak itu sama saja.

Dalam mazhab Maliki, menikahi perempuan ahli kitab yang merdeka atau bukan budak itu boleh dengan status makruh. Sebagaimana pernyataan dari al-Qarafi (w. 684 H):

الْكفَّار ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ الْكِتَابِيُّونَ يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ وَضَرْبُ الْجِزْيَةِ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَرِهَهُ فِي الْكِتَابِ لِسُوءِ تَرْبِيَةِ الْوَلَدِ[4]

Orang kafir itu ada 3 jenis; pertama adalah kitabiyyun. Mereka halal dinikahi perempuannya dan diminta pajak, meskipun menikahi perempuan ahli kitab itu makruh, karena jelek dalam pendidikan anaknya.

Sedangkan dalam mazhab Syafi’i, menikahi perempuan ahli kitab itu boleh dengan status makruh, baik harbiy (memerangi umat Islam) maupun dzimmiy (dijamin keamanannya oleh umat Islam). Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyatakan:

يحرم نكاح من لا كتاب لها كوثنية ومجوسية. وتحل كتابية لكن تكره حربية وكذا ذمية على الصحيح

Haram menikahi perempuan yang tak punya kitab (samawi) seperti watsaniyyah dan majusiyyah. Sedangkan perempuan ahli kitab itu halal dinikahi tetapi makruh, baik perempuan harbiy, maupun dzimmiy menurut pendapat yang shahih.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam mazhab Hanbali menyebutkan:

مَسْأَلَةٌ؛ قَالَ: (وَحَرَائِرُ نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ وَذَبَائِحُهُمْ حَلَالٌ لِلْمُسْلِمِينَ) لَيْسَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، بِحَمْدِ اللَّهِ، اخْتِلَافٌ فِي حِلِّ حَرَائِرِ نِسَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ

Perempuan yang merdeka dari ahli kitab dan sembelihan mereka itu halal untuk kaum muslimin, diantara para ahli ilmu tak ada perbedaan dalam hal ini.

Hanya saja, meskipun Imam Syafi’i –rahimahullah– termasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil.

Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nasrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.

Imam Syafii (w. 204 H) sendiri dalam kitabnya al-Umm menyebutkan:

فَلَمْ يَجُزْ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ أَنْ يَنْكِحَ نِسَاءَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي إسْرَائِيلَ دَانَ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى بِحَالٍ… فَمَنْ كَانَ مِنْ بَنِي إسْرَائِيلَ يَدِينُ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى نُكِحَ نِسَاؤُهُ وَأُكِلَتْ ذَبِيحَتُهُ

Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang muslim menikahi perempuan ahli kitab dari Arab maupun Ajam kecuali dari Bani Israil yang beragama yahudi dan nasrani… Siapa yang berasal dari Bani Israil dan beragama yahudi maupun nashrani, maka perempuannya boleh dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.

Pendapat Imam Syafi’i tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Al-Khathib Asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (2/44).

Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nasrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).

Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nasrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nasrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka.

Meski para ulama lain selain Syafiiyyah me-rajih-kan kemutlakan ahli kitab, baik dari Bani Israil maupun selainnya. Maksudnya ulama lain selain Imam as-Syafi’i berpandangan bahwa siapapun mereka, dari Bani Israil atau tidak, asalkan beragama seperti ahli kitab yaitu yahudi dan nasrani, maka termasuk ahli kitab yang perempuannya halal dinikahi. Alasannya:

Pertama, karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu.

Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah ﷻ :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

”(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan merdeka [al muhshanat] di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).

Ayat di atas mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi al-Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil.

Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:

المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد

Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan).

Kemutlakan dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi’i. Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu berkata:

والراجح لدي هو قول الجمهور، لإطلاق الأدلة القاضية بجواز الزواج بالكتابيات، دون تقييد بشيء

“Pendapat yang rajih bagi saya adalah pendapat jumhur, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya perempuan-perempuan Ahli Kitab, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu (syarat).”

Kedua, karena tindakan Rasulullah shallaallahu alalihi wa sallam dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah (upeti atau pajak) atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/ Nasrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).

Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka. Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang murni atau asli. Misalnya firman Allah SWT :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Katakanlah [Muhammad],’Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur`an yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al Maa`idah [5] : 68).

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi SAW tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, mereka tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Al-Qur`an banyak.

Sementara para ulama Indonesia yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berpendapat bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah haram dan tidak sah. 

Demikian sejumlah pendapat para ulama dalam menyikapi pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Di Indonesia, hukum pernikahan beda agama mengacu ke Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Sumber: rumahfiqih.com

0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x