Hukum Qada Puasa yang Belum Dibayar Sampai Masuk Ramadan Berikutnya
Puasa bulan Ramadan adalah puasa yang wajib dilakukan oleh umat Islam yang telah memenuhi syaratnya. Meskipun demikian, ada sejumlah kondisi yang membolehkan seseorang tidak berpuasa Ramadan. Seperti orang dalam perjalanan, orang yang sedang sakit, perempuan haid, nifas, perempuan hamil dan perempuan menyusui.
Orang-orang seperti dalam kondisi di atas boleh tidak berpuasa tetapi wajib mengqada atau membayar dengan puasa di hari lain. Nah jika hutang-hutang puasa tersebut belum dibayar sampai masuk bulan Ramadan berikutnya bagaimana hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat menanggapi masalah ini. Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” ada dua pendapat para ulama tentang masalah ini.
Pertama, Wajib mengqada dan membayar fidyah sebagai kafarat (denda). Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad.
Imam Nawawi dalam kitabnya “al-Majmu’ Syarah Muhadzab” menjelaskan lebih rinci ulama-ulama yang berpendapat seperti di atas yaitu lbnu Abbas, Abu Hurairah, Atha bin Abi Rabah, Al-Qasim bin Muhammad, Az-Zuhri, Al-Auzali, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Dengan banyaknya para ulama yang berpendapat bahwa harus mengqada dan membayar fidyah Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “al-Fiqhul Islami Waadillatuhu” menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa, orang yang masih punya hutang puasa Ramadhan sebelumnya, sesudah menjalani puasa Ramadan yang baru datang itu, dia wajib mengqada puasa Ramadan tahun sebelumnya dan wajib membayar kafarat (fidyah).
Imam Nawawi menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam madzhab Syafi’I kewajiban membayar fidyah itu jika meninggalkan qada puasanya tidak ada udzur. Tapi jika ada udzur seperti masih dalam perjalanan dan masih sakit berkepanjangan dan lain sebagainya hingga masuk Ramadan berikutnya maka ia harus berpuasa Ramadan yang datang kemudian mengqada puasa yang pertama dan tidak ada keharusan membayar fidyah karena ia dinilai berudzur.
Kedua, madzhab Hanafi berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya, baik penundaan qada itu terjadi karena ada udzur maupun tanpa udzur. Mereka hanya diwajibkan mengqada saja. Ulama-ulama yang berpendapat seperti itu adalah Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i, Abu Hanifah, Al-Muzani dan Daud.
Menurt Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini dikarenakan perbedaan pandangan para ulama tentang qiyas.
Para ulama yang berpendapat wajib qada dan membayar fidyah berpandangan bahwa kaparat yang satu dengan yang lainnya bisa diqiyaskan. Hukum hutang puasa yang belum dibayar sampai masuk Ramadan berikutnyadiqiyaskan kepadahukumorang berbuka puasa dengan sengaja karena dianggap menghina atau meremehkan kemuliaan bulan Ramadan.
Sementara para ulama yang tidak mewajibkan membayar fidyah dan hanya mewajibkan qada saja berpendapat bahwa kafarat yang satu dengan yang lainnya tidak bisa diqiyaskan. Suatu pelanggaran jenis ibadah tidak bisa diqiyaskan dengan kafarat pada pelanggaran jenis lainnya. Karena itu, menurut para ulama ini, orang yang mempunyai hutang puasa yang belum dibayar sampai masuk Ramadan berikutnya hanya wajib qada saja tidak wajib membayar fidyah.
Jika ada sanggahan bahwa qada puasa tersebut dilakukan di luar bulan Ramadhan. Sedang berbuka dengan sengaja adalah di dalam bulan Ramadhan. Lalu mengapa diqiyaskan?
Jawabannya menurut Ibnu Rusyd sebab qada puasa tersebut dibatasi waktunya oleh syara’, puasa Ramadhan juga dibatasi oleh syara’. Jadi, menurut Ibnu Rusyd, keduanya sama-sama ditentukan oleh syara’, yang apabila dilanggar berarti meremehkan syara’.
Demikian pendapat para ulama tentang hukum qada puasa yang belum dibayar sampai datang Ramadan berikutnya. Waallahu a’lamu Bishawab.***