Inilah Cara Menyelesaikan Masalah Perbedaan Budaya dalam Perkawinan
“Saya enjoy saja, tidak ada masalah. Artinya pekerjaan itu tidak mengurangi status. Ada wali santri yang kaget ketemu saya yang sedang nawar ikan di pasar. Saya sering sabtu minggu pagi kadang sore.” (KH. Zainudin. 13/04/2013)
Cuplikan kalimat di atas cukupmenggambarkan bagaimana relasi gender yang terjadi dalam keluarga yang menikah pada 12 oktober 1970 ini. Di keluarga ini anggota keluarga mendapat tugas pekerjaan rumah tangga masing-masing. Ada yang bertugas membersihkan rumah, ada yang bertugas memasak, mencuci dan belanja. Tidak terkecuali kepala rumah tangga yaitu pak Zainuddin. Ia seringkali belanja ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Menurut suami yang menjadi ketua MUI kota Depok ini, melakukan pekerjaan rumah tangga tidak mengurangi statusnya sebagai kyai dan pengasuh pesantren. Menurut sang istri, semua anggota keluarga harus bisa menolong dirinya sendiri tidak bergantung dengan orang lain. Karena semua mempunyai kesibukan sendiri-sendiri.
Keluarga pasangan Malang-Nias ini dikarunia enam anak (empat laki-laki, dua perempuan). Saat ini, keluarga pemenang keluarga sakinah teladan tingkat provinsi Jawa Barat ini mengabdi di pesantren al-Hamidiyah Depok.
Pertemuan dengan istri di Nias ketika pak Zainuddin ditugaskan NU menyiarkan Islam di Nias. Ketika itu, Islam masih sedikit, sekitar 3%. Dengan adanya mubaligh yang ditugaskan ke sana lambat tapi pasti umat Islam semakin bertambah.
Keberadaan para mubaligh di Nias sangat dibutuhkan bagi masyarakat Nias. Maka tidak heran masyarakat Niat berusaha mengikat para mubaligh dengan tali pernikahan. Peristiwa ini yang dialami oleh pak Zainuddin di Nias. Ia dipertemukan dengan gadis Nias untuk dijodohkan. Meskipun sang gadis saat itu sudah mempunyai calon, tetapi karena orang tua yang menjodohkan, akhirnya sang gadis tidak bisa berbuat banyak selain menurutinya.
Meskipun pada awalnya sang gadis merasa sedih dan tidak bahagia tetapi akhirnya bisa menerima sang suami dengan melihat jauh ke depan bahwa memang Nias membutuhkan orang yang memahami agama untuk menyebarkan Islam disana. Sang gadis itu adalah Ibu Nur Ilman yang melihat pernikahannya sebagai salah satu bentuk pengorbanannya untuk pernyebaran Islam yang lebih luasdi Nias.
Dalam perjalanan pernikahannya, memang banyak cobaan yang dihadapi terutama terkait dengan ekonomi dan perbedaan budaya. Tetapi semua itu bisa dilewatinya dengan baik. salah satu kuncinya adalah ketika ada masalah dalam keluarga mereka selesaikan dengan jalan berkomunikasi dan mencari akar persoalannya.
“sebenarnya yang efektif saya bilang kalau ada problem dibicarakan. Artinya kita saling adu argumen. Jadi kalau kita sudah merasa benar, mungkin dia punya alasan, selalu demikian. Nah alasan itu kita dengarkan. Kalau kita pikir oh ya juga ya, ya udah. Tapi kalau gak, saya yang benar ya kumpulkan saja argumentasi kita. Ini begini harusnya begini karenaada hal yang begini. Akhirnya ya ketemu.” (Hj. Nur Ilman, 13/04/2013)
Selain penyelesaian masalah dengan pendekatan komunikasi yang argumentatif, pendekatan spiritual juga dilakukan oleh keluarga ini yaitu dengan banyak berdoa, mengaji dan shalat malam. Dalam hening malam setelah shalat malam, Ibu Nur Ilman berdo’a semoga dilembutkan hati orang yang sedang marah kepadanya. Karena menurut keyakinan ibu yang ketika mudanya aktif di IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama) ini dengan pertolongan Allah orang yang keras menjadi lembut, orang yang marah bisa menjadi sayang.()