Kekerasan Seksual terhadap Perempuan: Pengalaman Perempuan (Bagian 1)

Ilustrasi: freepik.com

Kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai ranah dan di berbagai usia sepanjang sejarah manusia. Seyogyanya, bila manusia modern menganggap peradaban mereka berubah dari yang primitif menjadi lebih beradab, maka segala jenis kekerasan kepada siapapun dan atas nama apapun tidak lagi terjadi. Namun sebaliknya, kekerasan, terutama kepada perempuan, seolah dianggap sesuatu yang lumrah terjadi.

Mengapa demikian?

Hal ini karena budaya patriarki yang mengakar kuat dalam semua masyarakat dan masih menganggap perempuan hanya pada tubuhnya saja sebagai objek. Segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan sangat sulit direalisasikan karena pasti saja terbentur halangan-halangan yang tidak sepakat untuk penghapusan terhadap kekerasan perempuan.

Salah satu contohnya adalah berkaitan dengan pengesahan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) yang masih terganjal karena penolakan pengesahannya. Ironisnya, penolakan tersebut justru digaungkan oleh perempuan sendiri yang tidak faham isi dan spirit pembebasan perempuan dari segala tindak kekerasan.

Concern Indonesia atas isu kekerasan terhadap perempuan ini diawali saat Indonesia ikut meratifikasi Konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women): sebuah kesepakatan International untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan pada 24 Juli 1984.

Langkah progressif dari komitmen Indonesia tersebut, walaupun sangat telat, adalah dengan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU/ PKDRT) No. 23/2004. Salah satu jenis kekerasan yang disebutkan dalam Undang-Undang ini adalah kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan.

Dalam ranah domestik, banyak perempuan mengkategorikan yang termasuk kekerasan hanyalah pada bentuk kekerasan fisik saja. Padahal kekerasan juga termasuk seksual dan psikologis, termasuk juga di dalamnya adalah penelantaran. Beberapa perempuan dalam penelitian saya mengalami berbagai jenis kekerasan tersebut. Kekerasan fisik yang biasa mereka alami adalah dipukul, ditendang, dijambak, didorong dengan keras, diseret, dilempar dengan benda keras, atau disundut dengan rokok. Secara psikologis beberapa dari mereka adalah korban selingkuh, korban poligami dan korban penelantaran secara ekonomi dan seksual.

Hal yang luar biasanya adalah para perempuan tersebut bertahan dalam pernikahan mereka. Tidak satupun dari mereka mengadu bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Banyak di antara para perempuan tersebut yang menangis ketika mereka bercerita kepada saya dan mengungkapkan bahwa ini baru pertama kalinya mereka ungkapkan. Lalu, apa yang membuat mereka bertahan dalam penderitaan tersebut?

Terdapat beberapa faktor di antaranya adalah: Pertama, karena mereka biasanya dinasehati oleh para orang tua mereka untuk tidak mengungkapkan permasalahan rumah tangga kepada orang lain dengan alasan aib keluarga. Mereka biasanya diminta untuk dirahasiakan. Kedua, beberapa perempuan menganggap bahwa kekerasan adalah bagian dari kehidupannya. Ketiga, para perempuan ini tidak mengenal bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa dilaporkan karena sudah ada undang-undangnya. Keempat, perimbangan lainnya adalah karena faktor anak dan ekonomi.  

Sebab itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia termasuk tinggi, namun sangat jarang mereka laporkan (Idrus, 2001; Bennett et al., 2011; Binahayati, 2011). Oleh sebab itu, kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang ‘normal’ terjadi dalam rumah tangga. Ironisnya adalah bahwa di antara yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan ini adalah dengan menggunakan dalil-dalil agama sebagai justifikasinya (kita akan membahas ini di bagian 2).

Kekerasan yang dialami oleh para perempuan dalam pernikahan oleh para suami mereka, baik itu fisik, psikologis maupun seksual, tentu saja menyisakan derita yang luar biasa dalam hidupnya. Seseorang yang paling dekat dengannya, yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku kekerasan dan hal tersebut bisa terjadi kapan saja setiap hari. Oleh sebab itu, memang sangatlah perlu untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak kekerasan atas dirinya. Tidak boleh terjadi seorangpun hidup di bawah tekanan, ancaman dan penganiayaan orang lain. Setiap kita adalah manusia merdeka yang memiliki hak hidup sebagai manusia yang memiliki martabat.

Referensi

Bennett, L. R., Andajani-Soetjahjo, S., & Idrus, N. I. (2011). Domestic violence in Nusa Tenggara Barat, Indonesia: Married women’s definitions and experiences of violence in the home. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 12(2). 146–163.

Binahayati. (2011). Perceptions and attitudes towards violence against wives in West Java, Indonesia. Unpublished PhD Dissertation, State University of New York at Albany.

Idrus, N. I. (2001). Marriage, sex and violence. In S. Blackburn, (Ed.), Love, sex and power: Women in Southeast Asia (pp. 43-56). Clayton, Vic.: Monash Asia Institute.

Irma Riyani
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 2 visit(s) today

Irma Riyani

Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia mendapatkan gelar PhD dari the University of Western Australia; MA dari Studi Alquran UIN SGD Bandung dan Islamic Studies Leiden University, Belanda. Disertasi S3 nya berjudul: The Silent Desire: Islam, Women’s Sexuality and the Politics of Patriarchy in Indonesia. Kajian yang digelutinya berkaitan dengan: Perempuan dan Sexualitas dalam Islam, Metodologi Hermeneutika Feminist atas Alquran, dan Studi Islam.

Irma Riyani
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x