Kiat Meraih Surga Bersama Keluarga (Bagian 3) Mewujudkan Qurrata A’yun pada Anak
Ada sahabat yang bertanya melalui chat terkait do’a yang dibaca oleh Nabiyallah Ibrahim AS, apakah itu hanya dibaca saat calon bayi masih dalam kandungan atau bisa dibaca setelah anak lahir ?
Do’a-do’a yang terkait anak dan keturunan secara prinsip bisa dibaca kapan saja, baik sebelum istri hamil, saat hamil maupun setelah melahirkan. Karena do’a-do’a tersebut mengandung makna yang umum, yaitu meminta anak yang saleh. Bila dibaca saat dalam kandungan, itu untuk mentakkidkan/ menegaskan agar kita jangan lupa berdo’a untuk anak-anak kita meski mereka belum dilahirkan.
Kita lanjutkan kupasan kita terkait “ Edisi Keluarga Kholilullah”. Setelah kiat-kiat di atas ( Baca: Tulisan sebelumnya), kita lakukan, ada ibrah dan hikmah lain yang bisa kita petik dari keluarga khalilullah ini, yaitu: Tidak mudah putus asa dan tidak “cengeng”
Kita lihat, betapa sulitnya Hajar, istri Ibrahim AS, saat ditinggal sendirian dengan anaknya karena sang suami melaksanakan tugas untuk melanjutkan risalah di Palestina. Dalam kondisi berdua dengan sang anak, sementara lokasi dan kondisi Mekah —yang mohon ma’af— sangat minim dari sumber kehidupan. Tidak bisa dibayangkan betapa sulitnya Hajar menghadapi situasi dan kondisi seperti itu, terlebih ketika perbekalannya habis.
Bagaimana Hajar mencari air sebagai sumber utama kehidupan, dia berlari dari Shofa ke Marwa untuk anak yang dikasihinya karena kehausan yang teramat sangat. Dan saat dia dalam kondisi yang sudah hampir kritis, dia melihat ada seonggok pasir yang di atasnya merembes air, lalu digali dan dibukanya pasir tersebut, air yang ada lalu dikumpulkan, terus dia kumpulkan yang akhirnya menjadi besar dan banyak airnya. Dan air inilah yang kemudian kita kenal dengan nama “Zam-Zam” sumber air yang tak pernah surut. Sebagaimana Hajar yang tak pernah surut asanya dalam proses pencarian air tersebut.
Air zam-zam yang melimpah inilah yang kemudian memancing kedatangan suku Jurhum untuk meminta izin kepada Hajar dan ismail agar mereka bisa memanfaatkannya dengan tetap memberikan hak penguasaan air kepada Hajar dan Ismail, dan mereka juga memberikan konsesi kepada Hajar dan Ismail sebagai balas budi atas kebaikan mereka, berupa konsesi untuk bisa menjalani kehidupan selayaknya masyarakat Mekah saat itu, yaitu pengembangan ekonomi berupa peternakan domba yang akhirnya membuat Ismail menjadi penggembala dan mampu mengembangkan kehidupan dengan lebih baik bersama ibunya.
Semangat juang yang luar biasa dan tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah SWT dalam kondisi sulit inilah yang ditularkan Hajar kepada anaknya. Disamping keridhoannya dalam ketaatan kepada Allah SWT dalam menjalani kehidupan yang akhirnya membuat Hajar dan anaknya bisa menjalani kehidupan yang jauh lebih baik, bahkan kemudian dia bisa berkumpul kembali dengan suami tercinta, saat Ibrahim kembali ke Mekah.
Dengan tidak menafikan peran penting seorang ayah, kita bisa melihat betapa Hajar, benar-benar memerankan dirinya sebagai UMMI. Kenapa kata UMMI saya tulis beda… karena inilah yang akan kita kupas juga pada bahasan kali ini.
UMMI ( أم) kata ini dalam Bahasa Arab seakar dengan kata UMMAH ( أمة ) dan IMAM ( امام) serta AMAM ( أمام ). Kata-kata tersebut memberikan pesan kepada kita bahwa seorang ibu (UMMI) hendaknya seorang yang visioner, memiliki pandangan ke depan (AMAM) dalam mendidik dan mentarbiyah anak-anaknya sehingga bisa menjadi pemimpin (IMAM) yang siap memimpin umat (UMMAH). Jadi kedudukaan seorang ibu dalam membentuk karakter dan akhlak anak sangat dominan. Bahkan bisa dikatakan ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya. Sebagaimana dikatakan oleh Hafizh Ibrahim dalam syairnya:
اَلْأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا
أَعْدَدْتَ شَعْباً طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya” ( Ali Ridha, al-Insya al-Sahl, Dar al-Syarq al-‘Arab, hal. 89)
Bagaimana Peran ayah? Ayah dalam Bahasa Arab disebut Abun (أب).dan kata أب dengan perubahan dan perkembangan kata yang dibentuknya memiliki makna antara lain (menjadi) ayah, yang memiliki, singa, memelihara, mendidik, dan keagungan (lihat Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia). Kalau kita gabungkan kedua kekuatan ini ( أب dan أم )—bila berjalan sebagaimana mestinya— dalam mendidik anak, maka ayah yang memiliki anak akan merasa bertanggung jawab untuk memelihara anak dengan mendidik dan melindunginya, sebagaimana singa melindungi dan menjaga wilayah kekuasaannya.
Dalam proses pendidikan ini ayah didampingi ibu yang memiliki visi untuk menjadikan anaknya sebagai imam/pemimpin umatnya dan dengan demikian insyaa Allah anak akan menjadi orang yang agung (salah satu arti أب) dan mulia. Agung dan mulia bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat, dan ini berarti si anak menjadi orang yang bertaqwa. Karena ketaqwaan itulah yang menjadikan kita mulia bahkan paling mulia ( Inna akromakum ‘indallahi atqokum ). Dan bukankah ini yang kita minta dalam do’a kita. Kita minta kepada Allah agar kita dan anak-anak kita menjadi pemimpin orang yang bertaqwa (waj’alna li al-muttaqiyna imama).
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.