Kisah Kakek yang Kangen Cucu-Cucunya
Sebut saja namanya kakek Abdullah. Usianya sekitar 60-an tahun. Ia keturunan Arab, hidungnya mancung badannya tinggi. Ia rajin shalat berjama’ah di Masjid dekat rumahnya.
Di usia senjanya, ia masih aktif mencari ilmu. Ia pernah bercerita kepada saya, ia bersama istrinya setiap minggu pagi pergi ke Kwitang untuk mengikuti pengajian di sana. Mereka biasa naik Jaklinko dari Condet menuju PGC (Pasar Grosir Cililitan). Dari sana mereka akan menaiki Transjakarta atau sering disebut Bus Way menuju Kwitang.
Mereka tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya transportasi. Mereka mempunyai kartu gratis untuk menaiki Transjakarta sepuasnya. Ini fasilitas yang diberikan Transjakarta untuk para Lansia. Begitu pun ketika naik Jaklinko, tidak perlu membayar ongkos. Karena semuanya gratis.
“Sekali-sekali lah pergi ke Kwitang”. Ajaknya kepada saya pada suatu kesempatan selepas shalat. “Selain dapat ilmu juga dapat barang-barang yang kita butuhkan. Banyak yang berjualan.” Ia menjelaskan sambil tersenyum.
Kami seringkali pulang bareng setelah menjalankan shalat berjama’ah di masjid. Kami berjalan beriringan menuju rumah. Kebetulan rumah kami satu arah, meskipun agak berjauhan. Kakek ini seringkali sengaja berjalan memutar mengikuti arah jalan kami hanya untuk sekedar berbagi cerita.
Salahsatu tema yang seringkali Kakek ini sampaikan adalah tentang rasa kangennya kepada cucu-cucunya. “Anak ini apa gak kangen sama orang tuanya?” Kalimat ini seringkali ia sampaikan setiap kali kami berjalan bersama.
“Bukannya orang tua gak mau nengoikin cucu.” Katanya suatu ketika kami berjalan bareng sepulang dari Masjid. “Tapi ininya gak ada.” Katanya sambil memperagakan jarinya menunjukkan tanda uang. Sebagai orang tua yang sudah tidak aktif bekerja lagi tentu ia tidak mempunyai uang untuk sekedar menengok cucunya di luar kota, tepatnya di Kota Cirebon.