Mbak Menik

Ilustrasi: Freepik

Mbak Menik (52 tahun) begitu saya dan para pelanggan memanggilnya. Ia berasal dari salahsatu kota di Jawa Tengah. Ia tidak mau menyebutkan nama kotanya. Selain itu, tidak banyak orang, termasuk saya, yang tahu nama aslinya.Ia berjualan sayuran: mulai dari bawang merah, kangkung, bayam sampai daging ayam.

Pada suatu kesempatan, saya berhasil ngobrol dengannya di sela-sela kesibukannya ia berjualan di kiosnya. Saya sengaja meminta waktunya untuk mendengar suka dukanya menggapai kesuksesan sebagai tukang sayur yang berhasil mengantarkan kedua putrinya meraih gelar sarjana. Saat kami sedang ngobrol, seorang lelaki tua yang naik sepeda berhenti di depan kiosnya dan bertanya:

“Pisang niki pinten.” tanyanya.

“Sedoso Pak.” Jawab Mbak Menik, ramah.

“Bisa kirang?” Tanya lelaki tua itu.

“Pun, sonqo mawon.” Jawab Mbak Menik.

“Wolu ya.” Lelaki tua penaik sepeda itu menawar.

Lalu Mbak Menik mengambil plastik dan memasukan pisang itu dan menyerahkan kepada lelaki tua itu tanda setuju dengan harga yang diminta lelaki tua itu.        

Begitulah Mbak Menik sehari-harinya melayani para pembelinya dengan ramah dan cekatan. 

Kami pun melanjutkan ngobrol. Ketika saya tanya siapa nama aslinya, ia menjawab:

“Wani piro (Berani bayar berapa)?” kata Ibu dua anak itu sambil bercanda.Ia sering juga dipanggil Mbak Inah. Ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Mbak Sur. Ia mempunyai nama asli Surminah.  

“Nah, Loh kok dipanggil ‘Menik'”. Kata saya.

Ia bercerita pertama kali tinggal di Rindam, ngontrak dengan sang Suami. Di kontrakan yang sempit dan sumur di luar dengan model kerek. Suatu ketika tetangga kotrakannya kebakaran, ia pun menaiki pagar kontrakan agar terhindar dari jilatan api. 

Suatu ketika seseorang bertanya kepada mereka “Kok kontrakannya gak pindah-pindah.” Ia pun menjawab “Do’akan nanti kalau pindah sudah punya rumah sendiri.” Sebuah jawaban dengan penuh keyakinan. 

Dulu ia sempat pulang kampung. “Kamu tuh hidupnya di Jakarta. Di sini kan kamu gak punya sawah.” Kata saudaranya menasihati. Ia pun kembali ke Jakarta. 

Sekitar 1992, ia mulai berjualan sayuran di emperan rumah orang di Sendet. Ia berbelanja sayuran di Pasar Minggon. Dulu, penghubung antara Pasar Minggon dengan Sendet adalah jembatan gantung yang terbuat dari bambu.

“Kalau kita lewat goyang-goyang. Sempat saya terjatuh.” Cerita Mbak Menik mengenang awal mula ia merintis usaha jualan sayuran.

“Terjatuh ke sungai?” Tanya saya penasaran.

“Gak, terjatuh di jembatannya.” Jawab dia.

Ia gendong dan tenteng sayuran itu dari Pasar Minggon sampai ke Sendet. Ia berjalan kaki. Karena dulu belum ada ojek. Ketika itulah ia dipanggil ‘Menik’, oleh orang Jawa kenalannya. “Menik itu artinya ‘Bunga cabai’. Menik adalah orang yang berani, cerdas, dan pekerja keras. Panggilan itu cocok buat kamu.” Begitu penjelasan orang Jawa yang memanggil saya Menik. Kata dia menjelaskan, sambil tersipu. Sejak itulah sayadi panggil Menik sampai sekarang.

Mbak Menik mulai berjualan di emperan rumah orang. Kalau panas kepanasan, kalau hujan kehujanan. Ia sempat merasakan perih dan pedihnya berjualan di emperan. Perna suatu waktu jualannya dilindas mobil yang pemiliknya tidak jauh rumahnya dari tempat ia jualan. 

“Saya jualan di emperan orang. Pas tikungan. Suatu hari ada mobil lewat, tanpa permisi, tanpa membunyikan klakson, dagangan saya dilindesin itu mobil.” Cerita Mbak Menik dengan air mata berkaca-kaca. Ia pun spontan berdo’a: 

“Ya Allah, begini-begini amat ya jualan. Mudah-mudahan diberikan kesehatan, ada rezekinya dan punya tempat sendiri.” 

Saat itu Pak Takiman, sang suami, sempat menjadi tukang becak. Tapi waktu itu, becak sedang gencar dirazia oleh Kamtib. Ia sembunyikan becaknya dengan menceburkannya ke kali agar tidak terazia. Sempat juga suaminya membeli angkot bekas. Tapi angkotnya itu lebih banyak mengeluarkan uang untuk memperbaiki daripada menghasilkan uang. Akhirnya angkot itu ia jual. Kemudian suaminya menjadi Satpam atas ajakan temannya. Sempat beberapa kali pindah tempat. Sampai akhirnya ia pensiun. 

Selain jualan sayur dengan mengampar di emperan rumah orang, Mbak Menik juga menjajakan jualannya itu keliling menemui pelanggannya dari pintu ke pintu. Mbak Menik bercerita, ia pernah berjualan berkeliling bersama anak keduanya di tengah terik matahari yang menyengat.

“Sayur…sayur…” Anaknya yang waktu itu masih kecil itu berteriak menjajakan sayuran. Di tengah sengatan matahari, ia selalu ingat pesan temannya ketika bercerita tentang kondisi di tanah suci.

“Kalau berpikir panas akan panas. Tapi kalau berpikir adem ya adem.” Kata Mbak Menik. Karena itu ia selalu bilang “dem, adem, adem….Alhamdulillah jadi adem.” 

Singkat cerita, akhirnya ada orang yang menawarkan tanah karena sedang butuh. Meskipun waktu itu tidak sedang mempunyai uang, tetapi ia sangat ingin mempunyai tempat untuk jualan yang tetap. Ia sempat jatuh sakit selama tiga hari memikirkan itu. Akhirnya ia pinjam ke sana ke mari dan terwujudlah sebuah kios yang tingkat untuk jualan sayuran.

Sekarang Mbak Menik sudah tidak takut lagi barang dagangannya terlindas mobil orang atau ia sendiri kehujanan dan kepanasan. Ia tidak perlu lagi berkeliling kampung menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu. Ia tinggal duduk manis dan menunggu pembeli serta melayani dengan sebaik-baiknya.  

Buah kerja kerasnya kini telah nampak. Anak pertamanya, Ine, sudah bekerja dan menikah serta mempunyai anak. Dulu, waktu ia kuliah di salah satu Universitas swasta terbaik di Indonesia, ia berhasil menjadi asisten dosen. Ia sempat mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan S2. Tetapi ayahnya menyarankan untuk ditunda dulu hasratnya itu sampai adiknya selesai juga kuliahnya.

Anak keduanya,Tia, juga sudah selesai kuliah juga di Universitas yang sama. Ia sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu lembaga Pemerintah. Ia juga sudah mendapatkan jodohnya. Dulu waktu kuliah, ia berhasil mendapatkan beasiswa, sehingga ia tidak perlu membayar kuliah. Bahkan ia mendapat uang dari Universitasnya karena nilai IPK-nya tinggi.

“Banyak orang gak percaya, Mbak Tia Kuliah dan masuk PNS gak membayar.” Kata Mbak Menik serius.Padahal Tia dulu waktu SMP sering telat ke sekolah karena ia harus membantu Ibunya jualan sayur dulu.   

“Tia itu dulu, waktu sekolah SMP, kalau sekolah setiap hari telat terus. Soalnya ia membantu jualan dulu.” Kata Mbak Menik bercerita.

“Semua bekerja keras.” Kata suaminya, menambahkan.    

Mbak Menik bercerita suatu ketika anaknya yang pertama harus membayar semesteran kuliahnya. Sementara waktu itu, ia hanya punya uang tiga juta, sudah pinjam ke sana ke mari masih kurang satu juta. Waktu itu SPP kuliah 5 Juta. Akhirnya ia mendapat pinjaman dari tetangganya untuk membayar SPP kuliah anaknya. Waktu itu Mbak Menik sangat senang banget, ada tetangga yang mau membantu meminjaminya.   

Keberhasilan seseorang mencapai sesuatu, biasanya, selain usaha yang bersifat lahir juga dibarengi dengan usaha batin atau ruhani. Ini yang saya tanyakan kepada Mbak Menik dan suaminya.

“Tanya aja langsung Bang, sama orangnya.” kata Mbak Menik sambil matanya menunjuk kepada suaminya yang duduk di depannya.

Pak Takiman (58 tahun)adalah suami Mbak Menik. Ia menyebut dirinya Pakde Berko. Menurutnya, orang-orang sudah pada tahu dengan nama panggilannya itu. Orang-orang melihat kita sekarang enak, mereka tidak tahu bagaimana dulunya, bagaimana prosesnya.

“Orang usaha itu langsung jaya kan gak mungkin.” Kata Pakde.

Usaha batin apa yang dilakukan, tanya saya. 

“Saya berusaha shalat dhuha tidak lepas dan malam mengurangi tidur untuk berdzikir.” Katanya  

“Kalau sudah masuk kamar, shalat, gak cukup se-jam.” Kata Mbak Menik menambahkan sambil tangannya sibuk membersihkan meja tempat dagangannya. “Pakde juga kuat puasanya.” Kata Mbak Menik menjelaskan usaha batin yang dilakukan suaminya.

Kemudian saya bertanya tentang rahasianya agar rumah tangga tetap harmonis.  

Yang penting kata Mbak Menik suami istri harus saling jujur. “Kalau saya ngomong A, Pakde juga A. Anak-anak juga tahu. Semua tahu. Gak ada umpet-umpetan.” Kata Mbak Menik membeberkan rahasia langgeng keluarganya.

“Kalau saya, kalau lagi marah ya marah bener. Tapi setelah marah ya sudah. Saya bisa berantem sama dia. Tapi setelah itu minta ma’af dan kelonin, selesai.” Kata Pakde menjelaskan cara mengatasi masalah dalam rumah tangganya.     

Begitulah perjuangan Mbak Menik dan Pakde Takiman (Pakde Berko) dan kedua anak perempuannya sampai mencapai keadaan seperti sekarang ini. Rumah sudah punya dua, di kampung juga ada satu, kios tempat usaha sudah milik sendiri, punya mobil dan yang penting adalah dua anak perempuannya sudah selesai kuliah dan menjadi sarjana. Bahkan keduanya sudah bekerja dan berumah tangga.

Saat ini juga Mbak Menik dan Pakde Takiman sudah mendaftar untuk menunaikan ibadah haji. Sudah mendapat nomor porsi. Tinggal menunggu jadwal keberangkatan ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.           

“Tugas sudah selesai?” Tanya saya.

“Belum.” Jawab Pakde, tegas.

Misi selanjutnya adalah mensukseskan pendidikan cucu-cucunya. “Minimal cucu-cucu selesai S1. Karena orang tuanya sudah sarjana.”

Perjuangan masih berlanjut. Kerja keras terus dilakukan, bangun malam dan berdo’a terus dipanjatkan. Puasa terus dijalankan. Tiada kesuksesan yang instan. “Kesuksesan ada jalannya sendiri. Proses tidak pernah mengingkari hasil.” Begitu kata Pakde, bijak.

Kini Mbak Menik, Pakde dan anak cucunya hidup bahagia. Mereka tetap bekerja keras untuk masa depan cucu-cucunya.***

Maman Abdurahman
Follow me
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Maman Abdurahman

Meneliti dan menulis masalah perkawinan dan keluarga. Sekali-kali menulis cerpen dan puisi.

Maman Abdurahman
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x