Memahami Ideologi Gender dan Seksualitas di Indonesia

Ilustrasi: freepik.com

Istilah jender (gender) dan seksualitas (sexuality) dalam wacana di masyarakat Indonesia termasuk hal yang masih baru. Kedua term tersebut biasanya selalu saja diasosiasikan dengan aspek biologis (lihat artikel sebelumnya). Padahal, kedua term tersebut mengacu pada konstruksi sosial budaya yang dilekatkan ketika seseorang menjadi laki-laki atau perempuan, berkaitan dengan identitas, tugas, dan fungsinya dalam masyarakat.

Dalam masyarakat Indonesia, sebenarnya kajian gender dan seksualitas itu tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berhubungan satu dengan lainnya. Ideologi gender di Indonesia yang sangat berpengaruh bahkan sampai sekarang, setelah masa reformasi, adalah ideologi gender masa Orde Baru. Karena pada masa ini, yang rentang waktunya sangat lama, ideologi gendernya diajarkan dan disosialisasikan secara sistematis baik itu di sekolah, keluarga, masyarakat bahkan pemerintahan melalui kebijakan, hukum atau undang-undang. Mungkin kita masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia yang selalu saja memberikan contoh misalnya: “Bapak pergi ke kantor; ibu memasak di dapur.”

Contoh tersebut secara tidak sadar melekat pada benak anak-anak bahwa tugas seorang ayah adalah bekerja di luar rumah, sementara tugas seorang ibu adalah diam di rumah, memasak. Ini adalah ideologi gender yang ditanamkan pada masa Orde Baru yakni pembedaan dan pembagian kerja public vs. domestic dan dampaknya terlihat sampai sekarang. Sehingga, ketika zaman berubah dan menuntut perempuan untuk berkiprah di ruang publik, dipertanyakan dan digugat sebagai melawan ‘kodrat’ yang sudah ditetapkan tersebut. Dalam ideologi tersebut pada akhirnya adalah mengatur mana yang normal dan mana yang tidak normal; yang diterima dan yang tidak diterima berdasarkan konsensus masyarakat yang sudah terdoktrinasi dari ideologi gender tersebut. Salah satu aturan perundangan yang paling nyata tentang pembagian kerja tersebut adalah yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 di Pasal 6 ayat 31 Point (3) yang menggambarkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah pengatur rumah tangga; dan juga turunannya.

Dalam Undang-Undang tersebut telah membatasi kiprah perempuan hanya pada ranah domestik sebagai istri dan ibu yang tugasnya mengatur rumah tangga dan mengurus anak. Sementara itu, tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga dan pemberi nafkah. Hubungan perkawinan yang tidak setara ini kemudian menyisakan berbagai problem dalam masyarakat kontemporer Indonesia yang kini memberikan peluang kesetaraan kepada perempuan dalam berkiprah baik di ranah domestik maupun publik. Beberapa poin dalam Undang-Undang perkawinan tersebut di atas juga mendapatkan sorotan oleh beberapa pegiat kesetaraan gender untuk dapat direvisi. Walaupun sampai saat ini yang baru bisa diamandemen adalah berkaitan dengan penambahan usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.

Pada tataran selanjutnya ideologi inilah yang dijadikan acuan dalam pembagian tugas baik di rumah tangga maupun di masyarakat secara umum. Secara teori disebut sex role theory (teori pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin). Berdasarkan teori ini, tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam masyarakat dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Teori ini banyak dikritik sebenarnya karena membedakan tugas dan fungsi hanya atas analisis biologi semata yang kemudian mengabaikan potensi individu yang muncul dalam budaya yang berbeda dan pengalaman yang berbeda.

Pembagian yang ketat dan diskriminatif ini menyisakan problem bagi beberapa keluarga/rumah tangga di mana suami dan istri dituntut untuk bekerja di luar rumah. Bukan sekedar untuk mengekspresikan kemampuan masing-masing tetapi banyak juga karena tuntutan hidup yang makin mahal dan kompleks. Namun demikian, tuntutan kiprah perempuan untuk berkontribusi menambah income, tidak dibarengi dengan kiprah laki-laki untuk juga berkiprah di ranah domestik membantu pekerjaan rumah tangga. Inilah yang kemudian menjadikan perempuan memiliki beban ganda (double burden). Perempuan harus menanggung tugas pencari nafkah di ruang publik juga harus mengerjakan tugas di ruang domestik: memasak, mengurus anak dan lain-lain.

Seyogyanya, seiring dengan perubahan peran dan tanggung jawab dari masing-masing laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ke arah yang lebih setara, maka melakukan pekerjaan rumah tangga juga harus dibagi bersama secara fleksibel; saling membantu satu sama lainnya. Sehingga beban pekerjaan tidak hanya menumpuk di satu orang saja (perempuan/istri) tetapi juga laki-laki (suami) atau anggota keluarga lainnya secara bersama-sama. {}

Irma Riyani
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Irma Riyani

Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia mendapatkan gelar PhD dari the University of Western Australia; MA dari Studi Alquran UIN SGD Bandung dan Islamic Studies Leiden University, Belanda. Disertasi S3 nya berjudul: The Silent Desire: Islam, Women’s Sexuality and the Politics of Patriarchy in Indonesia. Kajian yang digelutinya berkaitan dengan: Perempuan dan Sexualitas dalam Islam, Metodologi Hermeneutika Feminist atas Alquran, dan Studi Islam.

Irma Riyani
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x