Mengenal Konflik Mertua-Menantu Dalam Pernikahan
Suatu ketika seorang Ibu terisak-isak menangis menceritakan kondisi dirinya yang merasa tidak diperhatikan oleh anak menantunya yang tinggal berdekatan dengan tempat tinggalnya. Ia menggambarkan betapa tersayat hatinya ketika bau wangi makanan mendatangi penciumannya. Sementara anak menantunya tidak memberinya atau hanya sekedar basa-basi menawarinya.
Kasus lain, seorang Ibu merasa tersentak dan tak percaya dirinya dibentak oleh menantu perempuannya karena gara-gara ia tak sengaja membuat cucunya terkena air panas. Saat itu ia baru tahu watak yang sebenarnya dari menantunya itu.
Cerita lain, seorang Ibu yang hanya mempunyai anak seorang laki-laki menceritakan betapa ia ingin anak menantu dan cucunya tinggal bersamanya. Karena ia hanya tinggal berdua dengan suaminya yang sudah bersiap pensiun. Ia berharap ingin selalu bersama cucunya. Tapi anak menantunya lebih memilih tinggal bersama orang tuanya. Padahal menurut si Ibu, orang tua si menantunya itu mempunyai anak banyak. Yang lebih menyakitkan, si anak menantunya itu sudah membeli rumah sendiri, tapi mereka lebih memilih tinggal bersama orang tuanya. Si anak beralasan anaknya yang masih balita tidak ada yang menjaganya kalau tinggal di rumah barunya karena keduanya bekerja. Si Ibu anak laki-laki itu lebih setuju anak menantunya tinggal di rumah sendiri yang sudah dibelinya. Karena ia akan lebih leluasa menengok anak cucunya, ia bisa menginap di rumah anaknya itu sepuasnya. Tapi ia tidak bisa melakukan itu ketika anak cucunya tinggal bersama orang tua si menantu atau besan. Masih banyak lagi konflik-konflik antara mertua dengan menantu dalam pernikahan yang tidak sedikit menimbulkan permasalahan serius.
Hubungan mertua dengan menantu atau sebaliknya seringkali berjalan tidak harmonis dalam sebuah pernikahan. Hal ini bisa dimengerti, karena orang tua adalah sosok terdekat bagi si anak. Mereka yang dari kecil mengasuh, mendidik dan mencurahkan kasih sayangnya untuk anaknya. Ketika anaknya menikah, ia tidak mudah untuk melepaskan anak yang disayanginya itu kepada orang lain begitu saja. Apalagi misalnya si orang tua hanya memiliki satu-satunya anak.
Di sisi lain, anak dan menantu karena sudah menikah, mereka ingin hidup mandiri tidak mau bergantung kepada orang tuanya. Selain itu, sebagai anak yang sudah berkeluarga, mereka ingin memutuskan segala sesuatunya sendiri tidak mau melibatkan orang lain bahkan orang tuanya sendiri.
Kasus lain, ketika menantu tinggal satu rumah atau berdampingan dengan mertua juga tidak lepas dari permasalahan. Semua tingkah laku menantu seakan dalam pengawasan dan pantauan mertua. Melakukan ini salah, tidak melakukan itu salah juga, semua serba salah. Ini yang menyebabkan menantu sering tidak kerasan tinggal di rumah mertua.
Dari kasus di atas, paling tidak, ada dua model kasus mertua-menantu yang sering terjadi dalam sebuah pernikahan. Pertama ketika menantu tinggal bersama orang tua suami. Ada istilah yang beredar di masyarakat yang berbunyi begini “kalau saudara tinggal berjauhan tercium bau wanginya. Tapi kalau saudara tinggal berdekatan tercium bau busuknya.”
Begitu pun kalau menantu tinggal serumah dengan mertua. Semua kekurangan dan keburukan seakan terlihat semua. Seperti kasus di atas, orang tua merasa tidak diperhatikan oleh anak menantunya karena tidak dibagi makanan padahal tercium baunya. Kasus lain, seorang Ibu hanya bisa menangis tak terucap kata-kata dari mulutnya. Ia mencurahkan perasaannya atas sikap dan perilaku menantunya yang mungkin dianggapnya tidak berkenan di hatinya.
Kedua, menantu tinggal bersama orang tua istri. Pada kasus di atas, orang tua dari pihak laki-laki merasa kurang mendapatkan akses terhadap anak dan cucunya. Karena di tempat besannya mereka tidak leluasa menginap dan bermain dengan anak cucunya. Masalah lain, mungkin juga terjadi masalah antara si anak laki-laki dengan mertuanya atau orang tua dari istrinya. Sebagaimana istri tinggal di rumah orang tua suaminya.
Dalam hal tempat tinggal bagi pasangan baru menikah, di Jawa Barat misalnya, mungkin juga di wilayah lain, laki-laki biasanya tinggal di rumah pihak perempuan. Karenanya, pihak pengantin laki-laki membawa barang-barang yang diperlukan untuk mengisi rumah pihak perempuan seperti kursi, tempat tidur, kasur, lemari, bufet, TV, peralatan dapur dan lain sebagainya. Kondisi ini berlangsung sampai si anak sudah mampu untuk membeli rumah sendiri atau mengontrak.
Budaya dan tradisi ini lambat laun mulai pudar. Pengantin laki-laki tidak selalu tinggal di rumah pihak pengantin perempuan. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing keluarga. Karenanya, tradisi seserahan juga berubah, laki-laki tidak selalu dibebankan untuk membawa barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Agar konflik mertua-menantu ini tidak terjadi, calon pengantin bisa membicarakan persoalan tempat tinggal ini dengan pasangan sebelum menikah. Mau tinggal dimana setelah menikah nanti? Di rumah pihak istri atau di rumah pihak laki-laki atau mengontrak. Keputusan ini jauh-jauh hari disampaikan kepada pihak orang tua masing-masing. Harapannya agar pasangan dan orang tua siap secara mental tentang kehidupannya dan persiapan untuk anak atau cucunya kelak.
Apapun keputusannya dimana akan tinggal sesungguhnya menjadi hak pasangan pengantin baru tersebut. Karena mereka yang lebih tahu kondisi segala sesuatunya dan mereka juga yang akan menjalaninya. Namun demikian, meminta saran dan do’a restu kepada orang tua merupakan akhlak yang terpuji dan menyenangkan hati orang tua. Jika pun akhirnya keputusannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orang tua, alasan yang masuk akal dan tidak menyinggung perasaan orang tua mungkin bisa diterima orang tua kedua pasangan.
Sebagai orang tua sudah selayaknya melepas dengan ikhlas anaknya yang sudah menikah dan mempunyai kehidupan keluarga sendiri. Iringan do’a orang tua sangat membantu kesuksesan dan kebahagiaan seorang anak. Wallahu ‘alam. ***