Menikah Lagi Setelah Menjadi Janda?
Tahun lalu kakak saya harus kehilangan suaminya yang meninggal karena penyakit diabetes yang dideritanya. Sepeninggal suaminya, kakak saya tentu berstatus janda. Seperti yang juga terjadi kepada ummi Pipik, istri almarhum Ust. Uje, paska menjadi janda, berita tentangnya untuk menikah lagi atau tidak tak kalah sensasionalnya dengan berita pernikahan artis lain.
Sama seperti kakak saya, selepas iddah, sempat ia bercerita bahwa ada yang bertanya kepadanya, mau kah dia menikah lagi? Perempuan muda seperti kakak saya katanya tidak elok berlama lama sendiri. Lalu apa jawaban kakak saya, selain karena masih berduka, ia menjawab bahwa ia ingin bertemu dengan almarhum suaminya nanti dan berharap juga bertemu sebagai pasangannya di akhirat nanti.
Ada stereotype yang begitu berat bagi perempuan yang menyandang status janda. Jika ia memiliki anak, anaknya yang yatim mungkin bisa jadi alasan untuk menikahinya untuk memelihara anak-anak yatim. Namun itupun bukan sebagai legitimasi untuk dinikahi sebagai istri kedua.
Bagi kakak saya, hidup sendiri (takdir Allah, beliau tidak dikaruniai anak) tanpa suami justru di satu sisi menjadi harus lebih hati-hati di lingkungan. Tak bisa dielakkan usia kakak saya yang muda dan masih ‘pantas’ menikah lagi seringkali menjadi perbincangan di lingkungannya yang justru mencerminkan kekhawatiran bahwa ia dilamar untuk dijadikan istri kedua (alasan poligami).
Saya ingat cerita salah satu ummul mukminin, yaitu Saudah binti Zam’ah. Saudah adalah istri pertama Rasulullah setelah Nabi ditinggal Khadijah. Nabi menikahi Saudah yang tidak muda dan cantik dan Saudah lah yang memelihara Ummi Kultsum dan Fatimah. Suami Saudah meninggal karena sakit dan sepeninggal suaminya, Saudah tampak sangat sedih. Saudah dan suaminya terkenal sebagai sahabat yang penuh pengorbanan bagi dakwah Islam, mereka meninggalkan kekayaan mereka demi beriman kepada Allah. Khawlah bin hakimlah yang menjodohkan Saudah untuk Nabi karena Khawlah melihat Saudah begitu berduka, pun Nabi membutuhkan sosok pengganti Khadijah untuk anak anaknya. Pada masa itu, menjadi janda pun memiliki status yang negatif. Nabi lah yang mengangkat derajat status muslimah yang berstatus janda bahwa mereka tetap mulia. Janda bukan untuk diwarisi tetapi mereka tetap sama statusnya di masyarakat. Waktu itu derajat perempuan di kaum quraisy memang sangat rendah, jika ia ditinggal meninggal suami atau ayah maka ia dianggap sebagai warisan, jangankan dinikahi, mereka bahkan bisa medapatkan perlakuan mirip sebagai budak. Atas izin Allah kemudian Nabi mencontohkan kepada sahabat bahwa laki-laki bisa saja menikahi janda namun bukan sebagai alasan poligami, bukan karena kecantikan, namun untuk membuktikan bahwa perempuan status janda sama statusnya dengan yang single. Dalam hal ini Rasulullah faktanya menikahi Saudah Rasul karena perintah Allah sedang saat itu ada juga Aisyah yang lebih muda dan cantik. Nabi menikahi Aisyah setelah menikahi Saudah.
Sampai di sini, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa bagi para perempuan yang ditakdirkan ditinggal wafat oleh suaminya, tidak perlu merasa sedih. Keputusan ada di tangan mereka untuk martabat mereka sendiri, karena martabat mereka sebagai janda tidak bisa didefinisikan oleh masyarakat. Apakah ia memutuskan menikah lagi atau tetap sendiri adalah sungguh hak dia sebagai individu. Tidak ada hak bagi masyarakat yang menilai atas dirinya, baik itu yang berdasarkan steriotype maupun alasan kasihan.
Cerita dari Saudah binti Zam’ah yang menjadi istri Nabi setelah menjanda bisa dijadikan kisah bahwa tidak menjadi buruk ia menerima lamaran nabi. Tidak menjadi buruk ia menikah lagi setelah kematian suaminya bukan karena ia tidak mencinta suaminya, namun keyakinan bahwa keimanan akan mengumpulkan mereka juga kelak di syurga. Pun tidak jadi buruk juga ketika perempuan memilih sendiri hingga akhir hayatnya.
Wallahu a’lam
- Namaku Safiye - 13/03/2021
- No Excuse! - 14/04/2020
- Aisyah - 07/04/2020