Menyelami Relung Hati Perempuan Dipoligami
Beberapa hari ini kita disuguhi berita tentang poligami. Seorang istri menceritakan di media sosial bahwa dirinya dipoligami oleh almarhum suaminya yang menjadi mubaligh terkenal di negeri ini. Ia menceritakan berusaha menutupi berita suaminya yang berpoligami demi kepentingan ekonomi keluarganya. Bahkan Ibu mertua dan keluarga suaminya tidak mengetahuinya. Konon almarhum mempunyai istri tiga.
Cerita lain, seorang anak membeberkan prilaku Ayahnya terhadap istrinya yaitu Ibu si Anak tersebut. Menurut ceritanya, sikap dan prilaku Ayahnya yang juga mubaligh terkenal itu telah menyakiti dirinya dan tentu Ibunya. Sebagaimana kita tahu, anak yang membeberkan prilaku buruk Ayahnya terhadap istrinya tersebut adalah dari keluarga yang menjalani praktik poligami. Apakah ini ada hubunganya? Wallahu ‘alam.
Tulisan ini tidak akan membahas dua kasus poligami di atas. Tapi akan menceritakan isi hati perempuan yang dipoligami. Apakah mereka happy atau sebaliknya?
Sebuah penelitian yang dilakukan Tri Haryadi (2009) menunjukan betapa perempuan yang dipoligami mempunyai perasaan yang sangat sensitif. Bahkan sebelum terjadi poligami seorang istri mempunyai pirasat yang tajam terkait dengan sikap dan tingkah laku suaminya. Seperti yang dialami oleh Ibu Siti (50 tahun, bukan nama sebenarnya). Ia merasa ada sikap yang aneh dilakukan suaminya. Ini membuat ia curiga.
“Kalau malem kan keluar. Kirain saya cuma… diakan ketua RT, duitnya banyak, jadinya… sering bawa mobil, kata dia sih ngelancarin mobil, kan bawa-bawa mobil kalau pergi. Eh terus tahu-tahu kok Bapak kelihatannya kok rapih terus gitu. Tapi saya curiga ada, ‘Kok Bapak rapih terus’ ya udah saya nggak ini Cuma saya liatin aja gitu. Gak nanya. Eh denger-denger kata temennya udah nikah.”
Akibat sikap suami yang sering pergi tanpa memberi tahu kepada istri kemana tujuan yang sebenarnya membuat sang istri makan hati, kepikiran, sedih dan stres. Tidak sedikit perempuan yang mengalami sakit dan tubuhnya kurus kering akibat ulah suami tersebut. Hal ini juga dirasakan oleh Ibu Siti. Ia merasa kesepian dan stres. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus kering.
“Kalau Bapak keluar, ya saya sedih banget. ‘Ini orang kemana, saya hanya berdua sama anak-anak.’ Cuma pikiran gak dia senang jalan gitu. Badan saya habis dulu, kurus, pikiran gitu. Pikiran Bapak kalau jalan gak bilang gitu. Cuman gak terbuka. Kepikiran apa Bapak ini kawin lagi gitu. Badan lama-lama kurus gitu. Terus kata saudara saya. ‘kamu mikirin apa sih! Mobil punya, motor punya, mikirin apa sih, kok badan makin abis? ‘ gitu, ‘nggak mikirin apa-apa’ saya bilang.”
Perasaan Ibu Siti lulusan Sekolah Dasar itu terus melayang tanpa berani menanyakan langsung kepada suaminya, sebenarnya apa yang dilakukan suaminya yang sering pergi dan baru pulang ketika adzan subuh berkumandang. Hatinya hanya bisa menangis saat tengah malam tiba. Ia tidak habis pikir dengan tingkah laku suaminya.
Untuk menghilangkan rasa sedih dan stresnya, Ibu Siti seringkali pergi bersama teman-temannya ke tempat wisata “nyari ini supaya adem gitu” katanya. Selain jalan bareng teman-temannya, Ibu Siti juga mencari tahu kepada orang pintar atau para Kyai untuk mencari tahu keadaan suaminya. Dari hasil bertanya tersebut, ia mendapat informasi, bahwa suaminya mempunyai kenalan lagi dan sudah menikah. Selain itu, ia juga diberi amalan do’a oleh Kyai tersebut “biar sayanya jangan marah kali gitu.” “iya nanti dia ngaku sendiri” kata Kyai itu.
Cerita di atas baru awalan. Masih panjang perjalanan perempuan yang dipoligami. Pengakuan suami bahwa dia telah menikah lagi hanya persoalan waktu saja. Ibu Siti sudah mempersiapkan hatinya untuk menerima pengakuan tersebut. Masih banyak masalah yang akan dihadapi Ibu Siti dalam pernikahan poligami suaminya. Misalkan bagaimana ia menghadapi pertanyaan anak-anaknya tentang Ayahnya yang sering pergi beberapa hari untuk bergilir ke istri keduanya, belum penghasilan suami yang harus dibagi dua untuk istri barunya. Persolan penting lainnya adalah bagaimana menata hati agar tetap kuat dengan rasa cemburu, panas dengan istri kedua, menghadapi istri kedua dan seabrek persoalan lainnya.
Seperti yang diungkapkan Ibu Siti berikut ini:
“….jengkel banget. Dia yang pernah kondangan datang berdua, saya sendiri. Itu juga keluar perasaan ‘enak amat ya dia datang berdua’….”
Itulah secuil perasaan hati seorang perempuan yang dipoligami. Jika diselami lebih dalam mungkin kita akan menemukan serpihan hati yang tersayat dan darah segar yang terus menetes karena pedihnya perempuan dipoligami. Kita jadi tahu, mengapa banyak perempuan yang tidak sudi dipoligami. ***