Perlindungan RUU P-KS untuk Relasi Perkawinan

Ilustrasi: freepik.com

Relasi seksual suami-istri yang terjadi dengan unsur kekerasan sesungguhnya bisa dijerat dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Kekerasan Seksual/RUU P-KS. Hal ini menunjukkan bahwa negara peduli akan relasi yang ma’ruf, yang bermartabat dalam kehidupan perkawinan setiap warga negara.

Kekerasan seksual dalam perkawinan sangat mungkin terjadi utamanya dalam perkawinan yang dipaksakan. Tetapi ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa realitasnya, kekerasan seksual juga bisa terjadi dalam kehidupan perkawinan yang normal yang sering dikenal dengan istilah marital rape.    

Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI berpendapat, bahwa hubungan seksual adalah konsekuensi logis dari sebuah perkawinan. Sehingga perkawinan yang dipaksakan akan mengarah pada pemaksaan hubungan seksual dengan kekerasan. 

Kekerasan seksual juga akan terjadi bahkan akan terus berulang pada perkawinan yang dipaksakan bagi perempuan korban perkosaan. Realitas di masyarakat banyak perempuan korban perkosaan yang dinikahkan dengan pelaku. Sehingga akan terjadi kekerasan seksual yang sama yang terus berulang. Padahal seharusnya menikahkan perempuan korban perkosaan dengan pelaku tidak menjadi jalan keluar bagi masyarakat. Karena justru akan menjerumuskan korban pada peristiwa kekerasan yang sama.

Kekerasan seksual tentu saja dilarang meski dalam relasi perkawinan karena membahayakan fisik, psikis bahkan jiwa seseorang. Bukankah hubungan suami-istri itu harus dilakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang, mawaddah dan rahmah yang disandarkan pada aktifitas ‘ubudiyah, penghambaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Bukan memperturutkan hawa nafsu semata. Sehingga benar-benar melahirkan ketenangan lahir dan batin, sakinah dalam kehidupan perkawinan maupun sosial, kemasyarakatan. 

Dan nampaknya kehadiran RUU P-KS inilah yang justru ingin menjaga di antaranya agar segala bentuk relasi seksual dilakukan sesuai syariat, beradab, dan menjunjung tinggi nilai-nilai martabat kemanusiaan. Karena setiap bentuk kekerasan seksual sudah pasti diharamkan, dan negara hadir memberikan sanksi hukuman, takzir bagi para pelaku.

Pun demikian, RUU P-KS sejatinya tidak hanya mengusung isu perlindungan kekerasan seksual dalam perkawinan. Banyak isu penting kekerasan seksual lain yang tengah diperjuangkan melalui RUU tersebut. Antara lain termaktub dalam pasal 11 ayat 1, bahwa kekerasan seksual mencakup: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan i. penyiksaan seksual.

Sedangkan pada pasal 11 Ayat 2 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.

Meskipun DPR RI periode lalu telah abai mengesahkan RUU P-KS, mudah-mudahan akan ada harapan baru yang lebih baik untuk legislasi nasional periode 2019-2024 yang baru dilantik pada 1 Oktober 2019 ini. Agar Indonesia segera memiliki payung hukum yang mengatur tegas segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi baik dalam kehidupan perkawinan, maupun dalam relasi sosial yang luas. Semoga. Wallahu a’lam bisshawab.[]

Hafidzoh Almawaliy Ruslan
Latest posts by Hafidzoh Almawaliy Ruslan (see all)
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Hafidzoh Almawaliy Ruslan

Freelancer. Mantan Redpel Swara Rahima, Jakarta. Gabung di komunitas Youth Peace, Tolerance, and Feminism Movement, Indonesia.

Hafidzoh Almawaliy Ruslan
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x