Pilih Karir atau Keluarga?

Ilustrasi: freepik.com

Bingung dan galau, mungkin itu kata yang tepat menggambarkan perasaan Ibu ketika mereka memutuskan untuk berpartisipasi di ranah publik. Saat ini, kebutuhan Ibu untuk bekerja tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk aktualisasi diri. Mereka ingin terlibat dalam berbagai bidang yang memberikan peluang untuk maju sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Lalu, manakah yang harus dipilih? Melanjutkan untuk berkarir atau berhenti untuk mengurus suami dan anak di rumah?

Ada kalanya, perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga 100%. Tujuannya adalah supaya bisa berkonsentrasi sepenuhnya menjalankan urusan rumah tangga terutama dalam merawat, mengasuh, dan mendidik buah hati tercinta. Dengan harapan penuh bisa menyiapkan anak menjadi orang yang lebih hebat dengan sentuhan penuh cinta tangannya langsung.

Di lain sisi, ada kalanya perempuan juga menginginkan untuk bisa mengembangkan ilmu dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga menuntut dia untuk maju sehingga ruang geraknya tidak lagi terbatas pada urusan rumah tangga tetapi juga masuk wilayah yang lebih luas yaitu partisipasinya dalam urusan publik. Karena sebetulnya, potensi yang dimiliki perempuan tidak kalah dibanding dengan laki-laki. Namun dalam budaya patriarkhi, partisipasi perempuan dalam wilayah publik sering mengalami hambatan.

Ada setidaknya lima hal yang paling sering menjadikan para Ibu galau dalam posisi ini, yakni:

1. Pola Pengasuhan Anak

Pola pengasuhan Anak yang berorientasi pada nilai-nilai tradisional bahwa ibu adalah agen utama dalam perkembangan kepribadian anak bila dianut secara kaku maka akan timbul satu perasaan bersalah dan mengakibatkan ia mempunyai penilaian yang tidak baik tentang dirinya sendiri. Hal ini akan mengganggu kehidupan keluarganya bahkan bisa mengancam kebahagiaan pernikahannya.

2. Kebutuhan Berprestasi

Seorang perempuan yang mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi akan berusaha mengembangkan tugas dan dirinya. Hal ini sehingga lebih berpeluang besar mengalami konflik karena keluarga merasa diabaikan. Sehingga mereka cenderung tidak ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya karena mereka takut akan kesuksesan yang berdampak akan menerima konsekuensi negatif dari keluarga dan masyarakat.

3. Sikap Tegas

Banyak perempuan yang sulit mengatakan “tidak”, meskipun mereka ingin sekali mengatakannya, dan tahu bahwa penolakan itu tepat. Hal yang demikian sangat membebani. Bagi Ibu yang beraktifitas full time akan merasa lebih tidak aman dari pada Ibu yang bekerja part time, terutama pada saat keluarga mencampuri kerja. Bila hal ini terjadi, biasanya para Ibu akan tetap mengutamakan keluarganya. Keluarga tetap menjadi pilihan utama. Bagaimanapun kebahagiaan sebagai ibu adalah ketika melihat keluarganya berhasil, walaupun sesungguhnya yang lebih diharapkan adalah keluarga rupawan dan prestasi yang menawan.

4. Persepsi terhadap Stressor

Lingkungan seakan-akan memberikan tuntutan. Jika tuntutan lingkungan itu dipersepsikan sebagai beban, hal tersebut akan menimbulkan stress. Sebaliknya, tuntutan itu tidak akan menimbulkan stress jika tidak dianggap beban. Bahkan, sebagian perempuan yang menganggap tuntutan lingkungan tersebut sebagai tantangan sebagai upaya untuk maju.

5.Tidak Adanya Peran Pengganti Ibu

Ketiadaan assisten rumah tangga atau peran pengganti Ibu juga menjadi salah satu alasan yang dihadapi Ibu pekerja. Hal ini dapat membuat peran Ibu tidak optimal. Karena beban ganda yang diembannya sehingga terlalu banyak yang masih harus dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja atau beraktifitas di luar. Di kantor, Ibu tidak dapat berkonsentrasi karena selalu memikirkan tentang rumah dan anak, sementara ketika sampai rumah ia masih harus terlibat sepenuhnya dalam aktivitas domestik seorang diri, karena pada umumnya suami tidak mau terlibat dalam urusan domestik. Dampaknya, Ibu akan terlalu lelah karena sungguh berat beban yang harus ditanggungnya, sehingga Ibu mudah tersinggung dan stress yang akhirnya dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Bagi seorang perempuan yang memilih berpartisipasi dalam ruang publik, terutama bagi para Ibu yang tetap memilih menjadi wanita karir, tentu akan memikirkan dengan masak-masak hal tersebut. Bagaimanapun keputusan perempuan untuk berkarir setelah menikah terutama setelah menjadi seorang ibu perlu mempertimbangkan perasaan keluarga tentang aktifitas atau pekerjaan yang dilakukannya di luar rumah. Oleh karena itu, dukungan sosial dari keluarga, terutama dari suami dan juga anggota keluarga lainnya, sangat dibutuhkan, karena akan mengurangi konflik yang terjadi.

Seorang perempuan tidak akan menjadi istri dan ibu yang super tanpa adanya suami dan ayah yang super pula. Artinya, istri dan suami harus memiliki pemahaman dan visi yang cenderung sama dalam menjalankan praktik pengasuhan anak. Prinsip-prinsip kesetaraan antara suami-istri dalam berumah tangga pun diperlukan dalam usaha meraih tujuan berkeluarga. Berbagi tanggung jawab dan saling mendukung. Jika suami dan istri dalam sebuah pernikahan tidak mampu menjalin kerja sama dalam melaksanakan hal-hal kecil di rumah, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan di kemudian hari dalam mengatasi masalah hidup yang lebih kompleks. Wallahu a’lam. []

Silvia Rahmah
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Silvia Rahmah

Magister Pendidikan Quran Hadis. Berpengalaman di dalam dunia jurnalistik dan editor di sejumlah penerbit nasional. Ia juga menyukai pengasuhan anak-anak atau parenting.

Silvia Rahmah
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x