Saling Taat

Ilustrasi: www.freepik.com

Saya sedih sekali, manakala ada seorang perempuan yang cerdas dan aktif, namun setelah menikah bak ditelan bumi. Pasif dan menarik diri dari kehidupan sosial. Padahal ia berpendidikan tinggi, penghafal Al-Qur’an, dan mempunyai semangat mengedukasi masyarakat sejak muda. Semua itu berubah drastis, ketika ia menikah. Sang suami melarang aktivitas di luar rumah dan dakwahnya secara total. Suaminya menekan bahwa istri salihah adalah istri yang selalu menuruti apapun perintah suami. Tanpa kecuali.

Saya harus mengatakan bahwa Islam yang saya pelajari di Pesantren adalah Islam yang ramah terhadap perempuan. Sejak lahir, perempuan dan laki-laki disyukuri dengan akikah. Perempuan dan laki-laki wajib belajar dan menuntut ilmu. Keduanya oleh Allah dianugerahi akal pikiran dan hati nurani yang sama untuk digunakan secara optimal dan berlomba dalam kebaikan. Atas dasar itulah, sebelum maupun sesudah menikah, perempuan dan laki-laki tetap sama-sama mulia. Istri menjadi mitra suami dan begitupun sebaliknya. Tidak boleh ada yang mendominasi, apalagi menekan-nekan salah satu pihak.

Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk membangun kehidupan berdasarkan prinsip kesalingan. Perempuan dan laki-laki, istri dan suami yang saling melengkapi, saling menjaga dan berbagi peran. Suami tidak boleh menjadi pihak yang merasa paling berkuasa atas istrinya. Apalagi sampai tega memarahi dan melakukan kekerasan terhadap istri. Semestinya, istri dan suami harus saling memuliakan, saling taat dalam kebaikan. Suami tidak perlu gengsi manakala diajak oleh istrinya menuju kebaikan.

Indah sekali seandainya prinsip kesalingan, saling taat dalam kebaikan ini diterapkan. Sebab hakikatnya, manakala kita taat pada ajakan dan nasihat baik dari pasangan, itu artinya kita taat pada Allah Swt. Sikap saling taat ini merupakan akhlak yang luhur. Di mana istri dan suami menanamkan sikap saling rendah hati. Saling bersikap dewasa, memahami dan menyadari bahwa masing-masing diri melekat kelebihan dan kekurangan. Tidak ada suami yang sempurna, sebagaimana tidak ada istri yang sempurna.

Istri berhak berpendidikan tinggi dan melanjutkan ke jenjang-jenjang berikutnya sebagaimana suami. Istri dan suami sama-sama berhak bekerja, berkiprah, dan berdakwah bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agamanya. Sesuai dengan minat dan pilihannya masing-masing.  

Berpendidikan tinggi bukan semata-mata untuk mencari pekerjaan, mengejar titel, apalagi agar dihormati orang lain. Berpendidikan tinggi dan berkiprah secara luas bagi perempuan dan laki-laki justru bernilai ibadah, manakala sejak awal diniati ibadah yang berkahnya dapat dirasakan bersama agar kehidupan semakin baik. Hidup yang segala sesuatunya dilandasi dengan ilmu.

Sehingga pernikahan bukanlah penghambat bagi siapapun untuk berpendidikan dan hidup lebih bermanfaat bagi masyarakat. Suami tidak perlu takut ketika istri mengenyam pendidikan yang tinggi. Suami justru bangga manakala mempunyai istri yang berpendidikan dan aktif mengabdi di tengah masyarakat. Lagi pula, tugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak bukan hanya tanggungjawab istri, melainkan tanggungjawab bersama, suami dan istri.

Pernikahan yang dilandasi spirit kesalingan, akan menimbulkan keterbukaan di antara istri dan suami. Keterbukaan inilah yang dibutuhkan dalam membangun rumah tangga. Sebab dengan menikah istri dan suami telah menjadi satu jiwa.

Di sinilah sejak awal, bahkan ketika merencanakan pernikahan, perempuan dan laki-laki, istri dan suami harus memiliki komitmen kuat untuk tetap saling memuliakan. Saling setia dalam suka maupun duka. Saling erat menggenggam perjanjian berat pernikahan (mitsaqan ghalidza) dalam menghadapi badai apapun. Tidak mudah melarang-larang, menuntut, apalagi melakukan kekerasan, menekan, mengancam atas nama ketaatan agama. Karena Islam adalah agama yang ramah dan memuliakan perempuan sekaligus laki-laki. Jangan sampai Islam ditampilkan dengan seram dan pemahaman yang justru menzalimi salah satu pihak, terutama perempuan.

Tidak ada satu ayat Al-Qur’an dan Hadis pun yang mengajarkan kesewenang-wenangan. Islam yang pemahamannya disalah-artikan, justru akan menjadi agama yang menakutkan bagi para istri dan perempuan, karena diancam dengan label istri durhaka dan masuk neraka. Islam mengajarkan suami yang ramah terhadap istri. Suami yang memuliakan istri, sebagaimana dirinya juga ingin dimuliakan oleh istrinya.

Semoga para istri yang sedang mengalami keadaan terdesak, terperangkap dan tersiksa karena intimidasi berlabelkan agama dari suami agar segera mendapatkan jalan keluar dan pertolongan dari Allah swt. Sehingga ke depan, kehidupan rumah tangga yang adil dan saling taat dalam kebaikan dapat terealisasi, perlahan. Wallaahu a’lam.[]

Editor: Hafidzoh

Mamang M Haerudin (Aa)
5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Mamang M Haerudin (Aa)

Penulis berasal dari Kabupaten Cirebon, Pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Cirebon, Founder Al-Insaaniyah Center.

Mamang M Haerudin (Aa)
Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Lilik Fatimah Azzahra
5 years ago

Assalamualalikum…
Terima kasih artikelnya. Nderek menyimak sepenuh hati… ^_^

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x