Sang Petarung!
Kursi-kursi berserakan secara acak di halaman, masih bersisa puluhan undangan yang duduk berkelompok, tampak sibuk terlibat aneka percakapan. Sesekali riuh tawa hadir. Menimpali Suara gaduh dari organ tunggal memenuhi udara malam bersama kepulan asap rokok.
Di sudut taman, di antara dua batang palem, tubuh seorang biduan meliuk-liuk erotis mengikuti musik dangdut koplo. Tak jelas lagu yang disajikan. Juga tak peduli tentang penampilan itu akan dinikmati atau tidak. Sang biduan ingat pesan dari pemilik organ tunggal. Harus mempersembahkan yang terbaik.
Ruang tamu sepi. Sudah sepuluh menit, Wira duduk di hadapanku. Matanya tak henti melihat layar ponsel. Wajahnya tegang. Aku masih menunggu, dan menyaksikan berkali-kali Wira menghubungi. Wajah kecewa diajukan padaku.
“Gak diangkat, Bang!”
“Susul ke rumah sakit!”
“Iya, Bang!”
“Sekalian ke Polres! Suruh Anton ke sana!”
“Tapi, Kalau ada…
“Kau masih punya telinga, kan?”
“Iya. Siap, Bang!”
Nyaris tujuh tahun ikut denganku. Wira sangat paham sifat dan sikapku. Tak lagi bicara, Wira segera bangkit dan bergegas keluar dari ruang tamu. Akupun menyusul Wira. Langkahku terhenti di pintu rumah. Memandang ke sudut taman. Rita, sang biduan, dari jauh melemparkan senyum untukku.
***
Pagi itu, belum pukul tujuh. Terdengar ketukan di pintu kamar tidurku. Wira berdiri di balik pintu, memberitahu jika Anton sudah menunggu. tanpa bicara, kulangkahkan kaki menuju ruang tamu.
“Ada apa?”
“Kapan, berangkat ke Jakarta, Bang?”
“Besok! Pesawat pagi!”
“Istri Abang…”
“Berangkat kemarin. Dengan anak-anak!”
“Kenapa tidak…”
“Kan, rumah di sana butuh sentuhan perempuan! Bakal banyak yang datang ke rumah, kan?”
“Iya. Kapan kepastian pelantikan?”
“Lusa!”
Sejak dua tahun lalu, Anton ditugaskan di kota sejuk ini. Adik kelasku saat di SMA itu, masih betah sendiri. Padahal telah lima belas tahun dinas di kepolisian. Bertahun berusaha agar bisa ditugaskan di kota kelahiran, dengan alasan menjaga ibunya yang sudah terlalu tua untuk hidup sendiri. Namun alasan itu menemui jalan buntu, hingga bertemu denganku.
“Bang! Teman-teman ingin…”
“Ya, udah! Kumpul di sini aja.”
“Pakai musik, boleh?”
“Atur saja!”
“Siap, Bang!”
***
Hening di ruang tamu. aku dan Wira menatap Bowo yang bersandar tenang pada kursi di hadapku. Teman seperjuangan sekaligus lawan berdebat yang tangguh. Pelindung sekaligus satu-satunya saudara kandungku yang tersisa.
“Jaga nama baik keluarga!”
Suara Bowo menjamah liang telingaku, menelusuri rongga-rongga yang ada di kepala dan mendekam diam dihati. Tak bersuara, anggukan kepala kutujukan ke hadapan Bowo. Mata Wira memandang seiisi ruangan yang berisi barang-barang antik dan berkelas koleksi Bowo.
“Suatu saat, kau akan mengerti! Jakarta itu kota besar sekaligus hutan belantara!”
Begitulah Bowo! Tak pernah bosan mengingatkan. Termasuk siang itu. Saat aku pamit, menetap di Jakarta untuk lima tahun ke depan. Tak lagi ada kata-kata. Hanya pelukan erat dua saudara. Kulihat, bening airmata Bowo dari pantulan cermin di hadapku. Cermin kuno warisan kakek yang dibingkai pigura kayu jati hitam.
***
Ponsel yang tergeletak di tempat tidur berbunyi. Sesaat kubiarkan ketika terlihat nama Wira di layarnya. Kulirik jam di dinding kamar. Baru pukul satu. Rita segera duduk di sampingku, sambil anggukkan kepala. Sedikit enggan, kuraih ponselku.
“Hallo? Maaf Bang! Kalau…”
“Bagaimana keadaan Bowo?”
“Masih belum sadar! Harus di operasi malam ini, Bang!”
“Sudah tahu, siapa yang menabrak?”
“Anton yang urus, Bang!”
“Mobilnya?”
“Hancur, Bang!”
***
“Anak-anakku sehat?”
“Iya!”
“Bagaimana kabar Anton?”
Wira terdiam sesaat. Sudah tujuh tahun, dan setiap bulan rutin menjengukku. Ada tatapan kasihan di manik mata itu. Tapi Wira tahu, aku tak mau dikasihani.
“Anton akan menikah, Bang!”
“Syukurlah!”
“Tapi…”
Kalimat Wira terhenti. Ingatanku membayangkan sosok Anton. Yang mengurus semua proses pemakaman Bowo Kakakku, tujuh tahun lalu. Saat aku terburu menghadiri pelantikan sebagai anggota dewan. Juga berhasil menangkap sopir truk yang melarikan diri, usai menabrak mobil Bowo hingga merenggut nyawanya.
Anton juga yang menyimpan cermin kuno peninggalan kakek yang ditemukan di mobil, sebagai pemberian terakhir dari Bowo. Sosok Anton yang membantuku menjalani proses hukum, hingga aku bertahan melalui sepertiga vonis hakim. Bersisa lima tahun lagi aku mendekam di penjara. Dan, selama itu juga, Anton yang menjaga keluargaku.
“Anak-anakku menerima Anton, kan?”
“Iya. Tapi kenapa harus…”
“Jangan lupa! Aku sudah resmi bercerai, kan?”
“Abang…”
“Mereka berhak bahagia!”
Suaraku bergetar pelan. Aku mengingat peristiwa tujuh tahun lalu. Akupun mengingat pesan Bowo. Dan, aku benar-benar tersesat di belantara ibukota. Sesaat kutengadahkan wajah ke langit-langit.
Langkah sipir penjara mendekatiku juga Wira. Aku dan Wira mengerti, waktu kunjungan telah usai. Tak ada pelukan, aku dan Wira hanya bertukar salam. Terasa erat pelukan wira di tubuhku.
“Bulan depan, aku datang lagi, Bang!”
“Sampaikan salamku untuk anak-anak!”
“Iya!”
“Untuk Anton juga!”
“Siap!”
“Jaga dirimu! Jangan pernah sepertiku!”
Wira tersenyum. Aku tertawa. Saat akan beranjak menuju pintu keluar. Wira berhenti dan berbalik badan. Wajahnya tampak ragu. Perlahan kembali mendekatiku.
“Bulan depan aku bawa Rita, boleh?”
“Hah?”
“Dia bersedia menunggu, sampai Abang bebas!”
Curup, 11.10.2019
- Sang Petarung! - 19/10/2019