Say “No” to Poligami: Hanya Allah Tempat Kita Bergantung
Pernikahan itu kesetiaan. Laisa fii qalbi hubbaani kamaa laisa fil wujuudi Rabbaani: tidak ada dalam satu hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam satu wujud dua Tuhan. Atas pepatah Arab ini saya justru meyakini jika yang lebih sunah itu monogami bukan poligami. Maka istri manapun punya hak untuk menolak praktik poligami. Istri tidak perlu takut diceraikan, diusir dari rumah, tidak diberi nafkah, dicap sebagai istri tidak salehah, dan lain sebagainya karena tuntutan poligami. Jadilah istri yang merdeka dan mandiri. Istri yang berwibawa tetapi tetap rendah hati dalam prinsip yang kokoh.
Termasuk jika ada istri yang diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya. Tetaplah menjadi perempuan yang mulia. Tidak perlu takut dan gengsi mendapat status sosial janda (Baca juga artikel Menepis Stigma Janda). Setelah masa iddah berakhir, silahkan menikah lagi atau memilih tetap sendiri. Keduanya pilihan dan ada konsekuensinya. Jika menikah lagi, menikahlah dengan cara yang baik. Bebaslah memilih dengan siapa akan menikah.
Tetapi tentu bukan berarti niat menikah hanya karena terjebak menggantungkan hidup kepada suami baru. Menikah lagi hanya karena takut miskin, takut Allah tidak memberi rezeki yang cukup, dan sebagainya. Sehingga mudah tertarik dengan ajakan poligami, apalagi dengan nikah siri, sebagaimana banyak kasus yang terjadi di masyarakat hari ini. Tentu tidak demikian.
Mari kita buka mata hati, terlalu banyak perempuan dan istri yang sukses, mempunyai karir dan rezeki yang berlimpah, tetapi tetap bisa menjadi istri yang baik bagi suami, atau menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya (Baca juga Tips Menjadi Sahabat Bagi Anak) Demikian pula laki-laki, suami, yang tetap saling setia, menjaga pernikahan dengan satu pasangan. Dan tetap berakhlak dermawan kepada umat masyarakatnya, terutama kepada para yatim dan janda, dengan tanpa harus mengikat mereka dalam praktik poligami, yang kebanyakan justru menjerumuskan dalam permasalahan lain yang lebih pelik.
Mari kita berharap hanya kepada Allah saja. Allah yang Maha Esa.
***
Sebagai umat Islam yang baik, sudah semestinya hanya Allah saja tujuan hidup kita. Ketika Allah menjadi tujuan hidup dan tempat bergantung, maka kita tidak akan dihantui rasa takut. Di dalam hati kita tertanam kuat, bahwa Allah akan lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluk ciptaan-Nya. Kita yakin Allah senantiasa bersama kita. Selalu merasa bahwa Allah hadir dalam setiap gerak-gerik hidup kita. Allah yang tidak pernah ingkar janji, tidak akan pernah mengecewakan. Allah yang Maha Berkuasa, Allah yang Maha membolak-balikkan keadaan.
Oleh karena itu, mari kita berikhtiar mendekati Allah, menjemput pertolongan hanya dari-Nya saja. Tidak lantas menggantungkan hidup kepada sesama manusia. Seperti istri kepada suami, atau karyawan kepada pimpinan, dan seterusnya.
Allah sendiri menciptakan manusia dengan penciptaan yang paling baik (fii ahsani taqwim), tak pandang apakah terlahir sebagai perempuan ataukah laki-laki. Baik perempuan maupun laki-laki, diciptakan Allah dari bahan/jenis yang sama (min nafsiw wahidah). Keduanya diberi potensi akal pikiran dan hati nurani yang sama. Ini artinya bahwa Allah hendak menegaskan betapa perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang setara. Sebagai makhluk yang mulia, apalagi jika di sepanjang hidup diisi dengan berlomba-lomba dalam beribadah dan beramal saleh.
Saat perempuan dan laki-laki memasuki jenjang pernikahan, bukan berarti perempuan secara otomatis akan turun derajatnya di bawah laki-laki. Sebelum maupun sesudah menikah perempuan dan laki-laki, istri dan suami tetap menjadi manusia yang sama derajatnya dan tidak dibeda-bedakan, kecuali ketakwaannya. Sehingga yang ada justru adalah sikap saling memuliakan, saling tolong-menolong dan saling melengkapi. Istri memuliakan suami, suami memuliakan perempuan.
Maka ketika selama ini hanya istri yang dituntut untuk menjadi salehah, mestinya suami juga harus berupaya untuk menjadi suami yang saleh. Suami yang ramah kepada istri, berbagi peran dengan adil dan setara dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, dan segenap aktifitas, kegiatan yang diniatkan sebagai ibadah hanya kepada Tuhan, sejak awal.
Penting kiranya dipertegas bahwa rumah tangga harus dibangun dalam prinsip kesalingan (mubaadalah). Sebab pernikahan mempersatukan dua insan yang berbeda karakter menjadi satu jiwa. Dengan sikap dasar kesalingan, rumah tangga yang dijalani akan dapat ditanggung bersama, baik suka maupun duka. Senantiasa setia dengan hanya satu cinta karena Allah saja di sepanjang hayat, apapun risikonya.
Setelah menikah dan berumah tangga, istri dan suami tetap berhak untuk tetap berpendidikan, bekerja di luar rumah, berkembang bersama-sama, meraih hak-hak dasar lainnya sebagai manusia yang sama-sama merdeka. Jika istri berpendidikan, bekerja, tentu saja bukan dalam rangka menyaingi suami. Berpendidikan dan bekerja itu semata-mata untuk bersyukur atas karunia Allah yang tak terhingga atas kesempatan hidup yang dianugerahkan. Justru mestinya suami patut bangga mempunyai istri yang mampu mengabdi kepada umat, beramal saleh dan bekerja untuk peradaban. Tentunya dengan tetap menjaga sikap saling percaya, setia dan komunikasi yang baik. Sehingga siapapun, tidak boleh menggantungkan hidup dan mati kecuali hanya kepada Allah.
Istri tidak boleh bergantung kepada suami. Sebab suami bukan Tuhan. Istri dan suami hanya dituntut untuk saling taat, setia, itupun dalam koridor kebaikan. Jangan sampai istri menjadi musyrik karena menuhankan suami. Atau sebaliknya suami menjadi musyrik karena menjadi seolah dialah yang berkuasa memberi makan, menghidupi, memelihara anak-istri. Lupa bahwa hakekat kekuasaan itu hanya milik Allah. Segala daya dan upaya terjadi hanyalah atas seijin Allah saja.
Karenanya, suami tidak boleh berbuat semaunya dengan dalih praktik tafsir agama. Perempuan dan istri manapun juga jangan takut untuk menolak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, akibat dipaksa menerima poligami. Jangan merasa tidak bisa berbuat apa-apa, berikhtiarlah dengan sungguh-sungguh.
Mari kita bersama-sama, laki-laki dan perempuan memperkuat tauhid kita kepada Allah. Yakin dengan kuasa-Nya, bergantung dan memohon pertolongan hanya kepada Allah saja. Wallaahu a’lam bisshawab.[Editor: Hafidzoh]
- Menyempurnakan Tips Langgeng Berumah Tangga ala Gus Baha - 02/06/2021
- Apa Yang Harus Dilakukan Kalau Rumah Tangga Di Ujung Tanduk? - 19/05/2020
- Izin Suami, Izin Istri - 20/01/2020