Cara Melerai Anak Bertengkar dengan Adil Tanpa Memihak

Sore itu, suasana rumah yang biasanya tenang tiba-tiba pecah oleh suara teriakan. “Itu punyaku!” teriak Rian, si sulung yang berusia tujuh tahun, menarik-narik boneka dinosaurus dari tangan adiknya, Shinta, yang baru berumur lima tahun. Shinta tak mau kalah, ia menjerit sambil mencengkeram boneka itu erat-erat. Wajahnya memerah, air mata mulai menggenang. Pertengkaran seperti ini, saya yakin, bukanlah pemandangan asing bagi banyak orang tua. Sebagai orang tua, insting pertama kita mungkin adalah segera menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, atau bahkan menyuruh salah satu mengalah demi kedamaian. Namun, tahukah Anda bahwa pendekatan seperti itu seringkali justru memperburuk keadaan dan menciptakan luka emosional yang lebih dalam?
Melerai pertengkaran anak memang bukan tugas mudah. Ada kalanya kita tergoda untuk menjadi hakim agung yang memutuskan vonis, atau bahkan menyuruh mereka berbaikan tanpa benar-benar memahami akar masalahnya. Namun, pendekatan yang adil dan tanpa memihak adalah kunci untuk mengajarkan anak-anak keterampilan resolusi konflik yang esensial, membangun rasa percaya, dan memupuk hubungan saudara yang kuat. Dr. Laura Markham, seorang psikolog klinis dan penulis buku Peaceful Parent, Happy Siblings, menekankan pentingnya orang tua untuk menjadi “pelatih emosi” bagi anak-anak mereka, bukan sekadar polisi lalu lintas konflik.
1. Jangan Jadi Wasit, Jadilah Mediator Netral
Saat Anda mendengar suara pertengkaran, tarik napas dalam-dalam. Ingat, tujuan Anda bukanlah menentukan siapa yang “menang” atau “kalah”, melainkan membantu mereka menemukan solusi. Hindari kata-kata seperti “Siapa yang memulai?” atau “Kamu selalu mengganggu adikmu!”. Kalimat-kalimat ini secara tidak langsung menunjuk salah satu sebagai pihak yang bersalah dan dapat memperdalam perasaan dendam.
Dekati mereka dengan tenang. Mungkin Anda bisa duduk di antara mereka atau jongkok agar posisi mata sejajar. Ucapkan kalimat seperti, “Mama/Papa lihat kalian sedang kesulitan berbagi/sepakat. Kita bisa menyelesaikannya bersama.” Nada suara yang tenang adalah kunci untuk meredakan ketegangan.
2. Beri Ruang untuk Mengekspresikan Perasaan
Setelah ketegangan sedikit mereda, berikan kesempatan kepada masing-masing anak untuk menceritakan versi mereka tanpa interupsi. Mintalah Rian untuk menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandangnya, lalu berikan kesempatan yang sama kepada Shinta. Anda bisa berkata, “Rian, Papa ingin mendengar ceritamu dulu. Apa yang membuatmu marah?” Setelah Rian selesai, katakan, “Terima kasih sudah bercerita, Rian. Sekarang, Shinta, bagaimana ceritamu?”
Penting untuk mendengarkan dengan empati dan memvalidasi perasaan mereka, bukan memvalidasi perilaku mereka. Misalnya, “Papa mengerti kamu kesal karena Shinta mengambil mainanmu” (validasi perasaan), bukan “Papa mengerti kamu kesal, tapi kamu tidak boleh berteriak” (menghakimi perilaku). Dr. John Gottman, seorang peneliti hubungan terkemuka, menunjukkan bahwa validasi emosi adalah fondasi penting dalam membangun kecerdasan emosional anak.
3. Fokus pada Solusi, Bukan Hukuman
Setelah mendengarkan kedua belah pihak, dorong mereka untuk memikirkan solusi bersama. Alih-alih menyodorkan solusi Anda, ajukan pertanyaan yang memicu pemikiran kritis. “Apa yang bisa kalian lakukan agar masalah ini tidak terjadi lagi?” atau “Bagaimana caranya agar kalian berdua bisa bermain boneka ini dengan senang?”
Mungkin Rian bisa menyarankan, “Bagaimana kalau kita main bergiliran, Kak? Lima menit aku, lalu lima menit kamu.” Atau Shinta bisa berkata, “Aku mau main bareng, tapi Rian janji tidak akan merebutnya lagi.” Biarkan mereka bernegosiasi dan mencapai kesepakatan. Peran Anda adalah memfasilitasi proses ini, bukan mendiktekannya. Ini sesuai dengan prinsip pengasuhan otoritatif yang mendorong anak untuk mandiri dalam memecahkan masalah.
4. Ajarkan Keterampilan Komunikasi Efektif
Pertengkaran adalah kesempatan emas untuk mengajarkan anak cara berkomunikasi yang sehat. Ajari mereka untuk menggunakan kalimat “Aku merasa…” daripada “Kamu selalu…”, yang cenderung menyalahkan. Misalnya, “Aku merasa sedih ketika kamu mengambil mainanku tanpa izin” (fokus pada perasaan diri sendiri) lebih baik daripada “Kamu jahat sekali merebut mainanku!”
Bantu mereka memahami sudut pandang satu sama lain. “Rian, menurutmu bagaimana perasaan Shinta ketika kamu merebut bonekanya?” Pertanyaan ini menumbuhkan empati dan membantu anak melihat gambaran yang lebih besar.
5. Rayakan Kesepakatan dan Beri Apresiasi
Setelah mereka mencapai kesepakatan, rayakan keberhasilan mereka! “Bagus sekali! Mama/Papa bangga kalian bisa menemukan jalan keluar bersama. Kalian hebat!” Apresiasi ini menguatkan perilaku positif dan mengajarkan mereka bahwa menyelesaikan konflik secara damai adalah hal yang membanggakan. Ini juga mengirimkan pesan bahwa hubungan mereka penting dan bahwa Anda percaya pada kemampuan mereka untuk menyelesaikannya.
Melerai anak bertengkar dengan adil membutuhkan kesabaran, empati, dan konsistensi. Ini bukan hanya tentang menghentikan pertengkaran saat itu juga, melainkan tentang membekali anak-anak dengan keterampilan hidup yang akan mereka bawa hingga dewasa. Mereka belajar bahwa konflik adalah bagian alami dari kehidupan, tetapi ada cara sehat dan konstruktif untuk menghadapinya. Dengan menjadi mediator yang adil dan pelatih emosi yang bijak, kita tidak hanya menciptakan kedamaian di rumah, tetapi juga membesarkan individu-individu yang kompeten secara emosional dan sosial.***
