Fantasi Seksual: Kisah Maya Menemukan Jawaban dari Psikolog

Ilustrasi: Googleaistudio

Layar ponsel di tangan Maya sudah meredup, namun matanya masih terbuka lebar menatap langit-langit kamar. Di sebelahnya, Adi, suaminya, sudah terlelap dalam tidurnya yang damai. Namun, kedamaian itu terasa jauh bagi Maya. Pikirannya seperti bioskop pribadi yang baru saja memutar film kategori “terlalu liar untuk diakui”. Sebuah skenario intim melintas di kepalanya, begitu detail, begitu berbeda dari kesehariannya, dan itu membuatnya merasa seperti orang asing di tubuhnya sendiri.

“Apakah aku aneh?” bisikan itu nyaris tak terdengar, namun menggema di dalam benaknya. “Apa ini artinya aku tidak lagi bahagia dengan Adi?” Gelombang rasa bersalah dan cemas mulai menyelimutinya.

Didorong oleh kegelisahan, jemari Maya bergerak lincah di atas layar ponselnya. Dengan ragu, ia mengetik pertanyaan yang selama ini menghantuinya ke mesin pencari. Hasil pertama yang ia buka membawanya pada sebuah studi terbaru dari Journal of Sex Research. Matanya membelalak saat membaca sebuah angka: lebih dari 97% pria dan perempuan dewasa secara teratur memiliki fantasi seksual.

Sembilan puluh tujuh persen? Maya mengulang angka itu dalam hati. Itu berarti, di sebuah ruangan berisi 100 orang, hanya 3 orang yang mungkin tidak berfantasi. Ia tidak sendirian. Perasaan lega yang hangat mulai mencairkan bongkahan es kecemasannya. Ini adalah titik awal perjalanannya memahami dunia di dalam kepalanya sendiri.

Membuka Pintu ‘Teater Pikiran’

Semakin dalam Maya menggali, semakin ia menemukan bahwa para psikolog tidak melihat fantasi seksual sebagai sebuah keanehan, melainkan sebagai fungsi otak yang sehat. Ia menemukan kutipan dari seorang psikolog klinis, Dr. Inez Kristanti, M.Psi., yang menggambarkan fantasi sebagai “teater pikiran”.

“Di teater itu,” tulis artikel yang dibaca Maya, “Anda adalah sutradara, penulis, sekaligus aktor utamanya. Anda bebas menciptakan cerita apa pun tanpa ada konsekuensi di dunia nyata.”

Konsep ini membuka mata Maya. Fantasinya bukanlah tanda pengkhianatan atau ketidakpuasan. Ia adalah produk kreativitas murninya. Psikologi fantasi seksual menjelaskan bahwa “teater pikiran” ini memiliki banyak manfaat, seperti meningkatkan gairah, menjadi cara aman untuk mengeksplorasi hasrat, bahkan sebagai pelepas stres yang efektif dari rutinitas harian.

Ketika yang ‘Aneh’ Ternyata Umum

Perjalanan Maya berlanjut saat ia menemukan karya Dr. Justin Lehmiller, seorang peneliti di The Kinsey Institute dan penulis buku Tell Me What You Want. Lehmiller telah mensurvei ribuan orang untuk memetakan lanskap fantasi manusia. Maya membaca daftar fantasi paling umum dengan napas tertahan.

  • Threesome atau seks berkelompok.
  • Elemen BDSM ringan (seperti diikat atau mendominasi).
  • Berhubungan seks di tempat semi-publik.
  • Bermain peran (role-playing).

Maya tertegun. Salah satu fantasi yang ia anggap paling personal dan “salah” ternyata ada di dalam daftar itu. Bukan hanya dirinya, tetapi ribuan orang lain juga membayangkan hal serupa. Beban berat seolah terangkat dari pundaknya. Rasa malu yang ia pikul perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu dan penerimaan diri.

Garis Merah: Kapan Fantasi Menjadi Masalah?

Namun, Maya adalah seorang pemikir yang kritis. “Tapi, adakah batasnya?” tanyanya pada layar ponselnya yang senyap. Pencariannya pun membawanya ke sisi lain dari diskusi ini.

Sebuah artikel psikologi menjelaskan bahwa fantasi baru menjadi “lampu merah” jika ia memenuhi salah satu dari dua kondisi. Pertama, jika fantasi itu menyebabkan penderitaan emosional yang signifikan dan terus-menerus bagi individu—membuatnya cemas, depresi, atau sangat bersalah. Kedua, dan ini adalah garis yang tak boleh dilewati, jika fantasi itu secara obsesif melibatkan tindakan menyakiti orang lain yang tidak setuju (non-konsensual), terutama anak-anak.

Poin krusial yang ia tangkap adalah: memiliki fantasi tidak sama dengan niat untuk melakukannya. Sama seperti Anda bisa membayangkan memenangkan lotre tanpa benar-benar membeli tiketnya. Fantasi adalah ruang imajinasi, bukan cetak biru tindakan.

Tidur Nyenyak Seorang Sutradara

Maya akhirnya meletakkan ponselnya. Udara di dalam kamar terasa lebih ringan, lebih mudah untuk dihirup. Ia menoleh ke arah Adi yang masih tertidur pulas. Perasaan yang muncul kini bukan lagi rasa bersalah, melainkan kehangatan. Ia mencintai suaminya, dan fantasi liarnya tidak mengubah fakta itu sedikit pun.

Malam itu, Maya tidur lebih nyenyak dari malam-malam sebelumnya. Ia telah melakukan perjalanan singkat ke dalam psikologi manusia dan kembali dengan pemahaman baru. Fantasi seksual bukanlah monster yang bersembunyi di bawah ranjang, melainkan taman rahasia di dalam kepalanya—sebuah tempat yang normal, sehat, dan sepenuhnya miliknya untuk dijelajahi. Dan sebagai sutradara di teater pikirannya sendiri, ia kini tahu bahwa pertunjukannya sangatlah manusiawi.(*)



admin
Visited 1 times, 1 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x