Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan

Ilustrasi: freepik

Ibarat menanam sebatang pohon; kita sudah berusaha merawatnya dengan baik, menyirami, memberi pupuk, dan menyemprotkan obat anti hama, namun pohon yang kita tanam masih juga gagal berbuah. Di mana letak kesalahannya? Apakah tanahnya tidak subur, ataukah bibitnya yang kurang bernas?

Gagal tanam. Apa yang bisa kita tangkap dari narasi pengibaratan di atas?

Baiklah. Mari kita renungkan barang sejenak. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Entah itu kegagalan kecil atau kegagalan besar. Kegagalan dalam meraih cita-cita atau kegagalan dalam merengkuh mahligai cinta.

Dan, tidak dipungkiri setiap kegagalan pasti menyisakan jejak kesedihan.

Demikian pula dengan diri saya. Saya pernah mengalami kegagalan pada sebagian perjalanan hidup saya. Ya, saya menyebutnya “sebagian” saja. Toh, hidup saya tidak harus berakhir hanya karena satu kegagalan, bukan?

Apakah saya sedih dengan kegagalan itu? Tentu! Karena itu hal yang  manusiawi. Tapi kemudian saya sadar. Saya tidak ingin mendzalimi diri sendiri dengan meratapi kegagalan secara berlarut-larut. Saya harus bangkit!

Jika dipikir-pikir sejatinya di balik kegagalan selalu ada pelajaran berharga yang bisa kita unduh. Setidaknya bagi kalangan orang-orang terdekat yang ingin menimba ilmu dari pengalaman bernama kegagalan tersebut.

Saya mencontohkan diri sendiri. Bagaimana orang-orang terdekat — khususnya anak-anak belajar banyak dari kegagalan yang pernah dialami oleh ibunya ini.

Si sulung, sebagai anak tertua yang sudah menikah hampir 10 tahun, ia.paling kerap berdiskusi dengan saya. Kami saling sharing. Saling mengingatkan.

“Menanam pohon pernikahan itu gampang-gampang susah. Jika ingin buahnya lebat dan manis, kita harus pandai-pandai merawatnya. Rajin menyirami, memberi pupuk — dengan  porsi yang sesuai. Artinya tidak terlalu sedikit atau terlalu berlebihan. Selebihnya kita berdoa, kita serahkan yang terbaik menurut kehendak Tuhan.”

Saya yakin si sulung memahami kalimat demi kalimat yang saya sampaikan di atas.

Pengibaratan itu berlaku juga bagi adiknya yang baru 2 tahun membina rumah tangga. Kepada anak lanang saya lebih menegaskan. Bahwa seorang suami memiliki tanggung jawab yang amat besar. Yakni sebagai penentu arah biduk pernikahan. Maka ia harus benar-benar menguasai medan. Jika nahkodanya saja tidak becus, bagaimana nasib penumpang yang berada dalam naungannya?

Sejauh ini, sekali lagi — paling tidak kegagalan yang pernah menghampiri ibunya ini bisa dijadikan guru terbaik sekaligus cermin. Dan, saya wajib mensyukurinya (kegagalan) itu sebagai sebuah anugerah.

Ya, saya selalu mencamkan quote ini:

“Orang-orang yang tidak pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya adalah mereka yang tidak pernah diberi kesempatan merasakan betapa nikmatnya sebuah keberhasilan”.***

Malang, 28 Maret 2021

Lilik Fatimah Azzahra
Latest posts by Lilik Fatimah Azzahra (see all)
5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Lilik Fatimah Azzahra

Peraih Award The Best in Fiction & People Choice di ajang Kompasianival 2017. Puisi dan cerpennya menjadi langganan headline di Kompasiana.

Lilik Fatimah Azzahra
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x