Hukum Ber-KB dalam Hukum Islam: Boleh atau Tidak?

Ilustrasi: Bing

Perencanaan Keluarga atau yang lebih dikenal dengan istilah Keluarga Berencana (KB) telah lama menjadi topik perdebatan di kalangan umat Islam. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk pengingkaran terhadap rezeki yang sudah ditetapkan Allah, sementara yang lain melihatnya sebagai ikhtiar untuk menjaga kesejahteraan keluarga. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum KB dalam pandangan ulama fikih? Boleh atau tidak?

Secara umum, Keluarga Berencana (KB) adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur jarak kelahiran anak atau membatasi jumlah anak dalam keluarga dengan berbagai metode, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan ibu, anak, serta kualitas kehidupan keluarga secara menyeluruh.

Dalam konteks Islam, segala bentuk perencanaan kehidupan, termasuk soal keturunan, harus berpedoman pada prinsip maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan). Selama membawa kebaikan dan tidak menimbulkan mudarat, sebuah tindakan diperbolehkan dalam syariat.

Pandangan Ulama Klasik tentang Pembatasan Keturunan

Perdebatan soal pembatasan keturunan bukanlah hal baru. Di zaman Rasulullah ﷺ, praktik ‘azl (coitus interruptus atau senggama terputus) sudah dikenal sebagai cara mencegah kehamilan. Para sahabat bertanya langsung kepada Rasulullah ﷺ mengenai hukum ‘azl.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:

“Kami biasa melakukan ‘azl di masa Rasulullah ﷺ sementara Al-Qur’an masih turun, dan Rasulullah ﷺ tidak melarangnya.” (HR. Bukhari No. 5208, Muslim No. 1440)

Mayoritas ulama fikih klasik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa ‘azl hukumnya boleh selama atas kesepakatan suami istri. Namun, bila tanpa izin istri, sebagian ulama menganggapnya makruh karena berkaitan dengan hak istri untuk memiliki keturunan.

Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab:

“’Azl hukumnya mubah (boleh) jika dengan kerelaan kedua belah pihak, dan makruh bila tanpa izin istri.” (Al-Majmu’, Juz 16, Hal. 412)

Pandangan Ulama Kontemporer tentang KB Modern

Perkembangan teknologi medis melahirkan berbagai metode kontrasepsi modern, seperti pil, suntik, IUD, dan sterilisasi. Para ulama kontemporer pun turut membahas hukumnya dalam berbagai forum, termasuk Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Fiqih Rabithah Alam Islami.

Secara umum, KB yang bersifat temporer (sementara) diperbolehkan dalam Islam, selama: tidak membahayakan kesehatan, atas kesepakatan suami istri dan tidak bertujuan menolak keturunan secara permanen kecuali karena alasan darurat medis.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan:

“Pada prinsipnya Islam membolehkan perencanaan keluarga (KB) sebagai bentuk ikhtiar untuk menjaga kesehatan ibu, anak, dan kesejahteraan keluarga, dengan ketentuan metode yang digunakan tidak bertentangan dengan syariat.” (Fatwa MUI tentang Keluarga Berencana, 2009)

Sementara itu, metode sterilisasi permanen (vasektomi atau tubektomi) umumnya diharamkan, kecuali karena alasan darurat kesehatan yang mengancam nyawa. Hal ini sesuai kaidah:

“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.” (Kaedah Fikih: Adh-dharuratu tubihul mahzurat)

Alasan Diperbolehkannya KB dalam Islam

Para ulama yang memperbolehkan KB modern berlandaskan pada prinsip maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam dalil, tetapi sejalan dengan tujuan syariat. Dalam Islam, tujuan syariat (maqashid syariah) antara lain adalah menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta.

KB dianggap sebagai bagian dari upaya menjaga: Kesehatan ibu agar tidak terlalu sering hamil tanpa jeda, tumbuh kembang anak secara optimal dan kesejahteraan keluarga dalam hal pendidikan, nafkah, dan perhatian.

Seperti pendapat Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu:

“Jika KB bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu atau menghindari kesulitan dalam membesarkan anak-anak, maka hukumnya boleh selama tidak permanen.” (Al-Fiqh Al-Islami, Juz 10, Hal. 305)

Dari berbagai pandangan ulama klasik hingga kontemporer, dapat disimpulkan bahwa KB bersifat temporer diperbolehkan dalam Islam dengan syarat: tidak membahayakan kesehatan, dilakukan atas kesepakatan suami istri dan tidak berniat memutus keturunan secara total kecuali darurat.

Adapun KB permanen (sterilisasi) umumnya haram kecuali untuk kondisi medis tertentu yang mengancam jiwa.

Sehingga, umat Islam memiliki ruang untuk melakukan perencanaan keluarga secara bijak tanpa melanggar prinsip syariat, selama tetap berpegang pada kaidah maslahat dan menghindari mudarat.

Seperti pesan bijak Sayyid Quthub:

“Islam bukan agama yang memaksa manusia dalam kesempitan, tetapi syariat yang memudahkan, menjaga, dan mengatur kehidupan manusia dalam bingkai maslahat.”
(Fi Zilalil Qur’an, Juz 1), (*)

Visited 1 times, 11 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x