Cinta Saja Tidak Cukup: Kisah Nyata di Balik Pentingnya Literasi Finansial bagi Pasangan Muda

Rian menarik napas dalam-dalam, aroma kopi tubruk yang baru diseduh memenuhi dapur mungil mereka. Di seberangnya, Sarah, istrinya yang baru dinikahi enam bulan lalu, menatap layar laptop dengan kening berkerut. Suasana pagi yang seharusnya hangat terasa sedikit tegang. Ini bukan kali pertama. Seminggu terakhir, ketegangan ini seperti hantu tak kasat mata yang menyelinap di antara mereka setiap kali topik pengeluaran muncul.
Kisah cinta mereka seperti di film-film. Bertemu di komunitas pecinta alam, jatuh cinta di bawah langit berbintang di puncak gunung, dan mengikat janji suci dengan pesta kebun yang intim dan penuh tawa. Mereka pikir, dengan cinta yang begitu besar, semua rintangan bisa dilewati. Mereka membicarakan segalanya: impian memiliki tiga anak, rumah dengan halaman belakang luas, hingga rencana pensiun di desa yang tenang. Namun, ada satu hal yang lupa mereka diskusikan secara mendalam: uang.
Rian adalah seorang perencana. Sejak menerima gaji pertamanya, ia sudah disiplin menyisihkan 20% untuk tabungan dan 10% untuk investasi reksa dana. Baginya, setiap rupiah harus memiliki tujuan. Sebaliknya, Sarah adalah jiwa yang bebas. Ia percaya hidup harus dinikmati. Gajinya sebagai seorang desainer grafis freelance memang tidak menentu, tetapi ia tidak ragu membelanjakan uang untuk pengalaman baru, makan di restoran yang sedang viral, atau membeli barang-barang cantik yang “memanggil-manggil” namanya dari etalase toko online. Sebelum menikah, perbedaan ini tidak pernah menjadi masalah. Uang Rian adalah uang Rian, uang Sarah adalah uang Sarah.
Masalah dimulai ketika mereka menggabungkan hidup, dan secara tidak langsung, keuangan mereka. Pemicunya adalah sebuah notifikasi tagihan kartu kredit yang tidak sengaja dilihat Rian di ponsel Sarah. Angkanya cukup untuk membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Di sana tertera cicilan 12 bulan untuk sebuah tas bermerek yang menurut Rian harganya tidak masuk akal.
“Sar, ini apa?” tanya Rian malam itu, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski gagal total.
Sarah, yang merasa privasinya dilanggar, langsung defensif. “Itu tasku. Aku yang bayar, kok. Kenapa memangnya?”
“Kenapa? Karena kita baru saja membicarakan soal menabung untuk uang muka rumah bulan lalu! Kamu bilang bulan ini pemasukanmu lagi seret, tapi kamu malah membeli tas seharga motor?” Suara Rian meninggi.
“Itu reward buat diriku sendiri setelah menyelesaikan proyek besar! Kamu tidak mengerti. Lagipula ini pakai uangku sendiri!” balas Sarah, matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi sekarang tidak ada lagi ‘uangku’ atau ‘uangmu’, Sarah! Kita ini tim! Uang yang kamu pakai untuk tas itu bisa jadi satu bulan cicilan KPR kita nanti!”
Malam itu, kata-kata tajam seperti “pelit”, “boros”, “tidak bertanggung jawab”, dan “tidak pengertian” terlontar begitu saja. Mereka tidur saling memunggungi, dengan jurang pemisah yang diciptakan oleh sesuatu yang seharusnya menjadi alat untuk membangun mimpi bersama: uang. Rian dan Sarah tidak sendirian. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Ramsey Solutions secara konsisten menemukan bahwa masalah uang adalah penyebab utama kedua perceraian, tepat di bawah perselingkuhan. Konflik finansial memicu stres, merusak kepercayaan, dan secara perlahan menggerogoti keintiman yang menjadi fondasi pernikahan.
Beberapa hari setelah pertengkaran hebat itu, mereka berdua sadar bahwa cinta mereka yang besar sedang diuji oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dikelola. Mereka memutuskan untuk melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan sebelum menikah: duduk dan bicara jujur tentang uang. Mereka membuka semua tabungan, investasi, utang, dan tagihan. Mereka mengakui ketakutan dan harapan finansial masing-masing. Rian takut tidak bisa memberikan rasa aman, sementara Sarah takut kehilangan kebebasan dan identitasnya dalam pernikahan.
Momen kerentanan itulah yang menjadi titik balik. Mereka sadar bahwa mereka tidak memiliki masalah uang, mereka memiliki masalah literasi dan komunikasi finansial. Mereka mulai melahap buku, podcast, dan artikel tentang keuangan keluarga. Mereka belajar bahwa Rian adalah seorang saver/investor, dan Sarah adalah seorang spender yang menghargai kualitas hidup. Tidak ada yang salah dari keduanya, yang mereka butuhkan adalah sistem. Dari sanalah perjalanan mereka menuju keharmonisan finansial dimulai, membuktikan bahwa literasi finansial bagi pasangan muda bukan sekadar tentang angka, melainkan prediktor kuat bagi keharmonisan jangka panjang.
Mengapa Literasi Finansial adalah Kunci Keharmonisan?
Kisah Rian dan Sarah adalah cermin bagi banyak pasangan muda. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 mencatat bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%. Angka ini menunjukkan masih banyak individu, termasuk pasangan muda, yang belum sepenuhnya memahami produk dan jasa keuangan. Ketika dua individu dengan tingkat literasi yang mungkin rendah disatukan dalam pernikahan, potensi konflik menjadi sangat besar.
Literasi finansial memberikan pasangan alat untuk:
Pertama, Membangun Fondasi Kepercayaan: Uang adalah topik yang sangat sensitif. Ketika pasangan bisa membicarakannya secara terbuka tanpa saling menghakimi, mereka membangun lapisan kepercayaan yang sangat dalam. Transparansi mengenai pendapatan, utang, dan kebiasaan belanja adalah wujud nyata dari komitmen dan rasa saling menghargai.
Kedua, Menyelaraskan Tujuan Hidup: Apakah Anda ingin membeli rumah dalam 5 tahun? Pensiun di usia 50? Atau menyekolahkan anak ke luar negeri? Semua mimpi ini membutuhkan rencana finansial yang solid. Literasi finansial membantu pasangan mengubah impian abstrak menjadi target konkret yang bisa dicapai bersama-sama.
Ketiga, Mengelola Konflik Secara Konstruktif: Perbedaan pendapat soal uang tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Namun, dengan pemahaman finansial yang baik, pasangan dapat mengelola konflik tersebut. Mereka tidak lagi saling menyalahkan (“Kamu boros!”), melainkan fokus pada solusi (“Bagaimana kita bisa menyesuaikan anggaran kita agar tujuan A tercapai tanpa mengorbankan pos B?”).
Langkah Praktis Memulai Perjalanan Finansial Bersama
Memulai perjalanan literasi finansial tidak harus rumit. Berikut adalah langkah-langkah praktis yang dapat Anda dan pasangan lakukan:
Pertama, Adakan “Money Date” Rutin: Jadwalkan waktu khusus setiap bulan, misalnya di hari gajian, untuk membahas keuangan. Buat suasana senyaman mungkin—sambil minum kopi atau makan malam. Bicarakan pencapaian bulan lalu, tantangan, dan rencana untuk bulan depan.
Kedua, Buat Anggaran Bersama (Budgeting): Ini adalah langkah paling fundamental. Gunakan aplikasi atau spreadsheet sederhana. Catat semua sumber pemasukan dan lacak semua pengeluaran. Dengan begitu, Anda berdua tahu persis ke mana uang pergi dan bisa membuat keputusan yang lebih bijak.
Ketiga, Tentukan Sistem Pengelolaan Uang: Tidak ada satu sistem yang cocok untuk semua. Beberapa pasangan memilih menggabungkan seluruh pendapatan dalam satu rekening. Yang lain menggunakan tiga rekening: satu untuk bersama (kebutuhan rumah tangga, cicilan), dan dua rekening pribadi untuk kebebasan masing-masing. Diskusikan mana yang paling cocok untuk Anda.
Keempat, Siapkan Dana Darurat Bersama: Kehidupan penuh kejutan. Kehilangan pekerjaan atau sakit mendadak bisa mengguncang keuangan. Miliki dana darurat setidaknya 3-6 bulan pengeluaran yang disimpan di instrumen yang likuid seperti reksa dana pasar uang.
Kelima, Belajar Investasi untuk Masa Depan: Jangan hanya menabung, kembangkan uang Anda. Pelajari instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko Anda berdua, mulai dari reksa dana, saham, hingga properti. Ini adalah cara Anda bekerja sebagai tim untuk membangun kekayaan di masa depan.
Pada akhirnya, literasi finansial bagi pasangan muda jauh melampaui sekadar angka di rekening bank. Ia adalah bahasa cinta yang baru, sebuah komitmen untuk membangun masa depan yang aman, stabil, dan harmonis. Seperti Rian dan Sarah yang akhirnya menemukan ritme mereka, setiap pasangan memiliki kekuatan untuk mengubah potensi konflik finansial menjadi pilar terkuat dalam pernikahan mereka. Cinta memang menjadi fondasinya, tetapi literasi finansial adalah semen yang merekatkannya untuk jangka panjang.(*)