Menilik Ulang Makna Pernikahan: Pelajaran dari Alain de Botton

Ilustrasi: gemini.google.com

Ketika berbicara tentang pernikahan, banyak dari kita cenderung membayangkan kisah cinta indah yang berakhir bahagia di pelaminan. Kita dibentuk oleh film, lagu, dan cerita dongeng yang menggambarkan pernikahan sebagai puncak dari romansa. Namun, filsuf dan penulis asal Inggris, Alain de Botton, lewat bukunya On Marriage, mengajak kita untuk menelaah ulang cara pandang tersebut. Baginya, pernikahan bukanlah akhir dari pencarian cinta, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh pembelajaran, pertumbuhan, dan pengenalan diri.

De Botton dengan lugas mengkritik pandangan romantis yang kerap mendominasi pemahaman kita tentang pernikahan. Ia menilai bahwa banyak orang memasuki pernikahan dengan harapan-harapan ideal yang tidak realistis — bahwa pasangan kita sempurna, bahwa cinta akan selalu mengalir tanpa hambatan, dan bahwa kebahagiaan akan hadir tanpa usaha.

Dalam salah satu kutipan pentingnya, ia menulis, “Pronouncing a lover ‘perfect’ can only be a sign that we have failed to understand them.” Menurut de Botton, jika kita menganggap pasangan kita sempurna, itu justru pertanda bahwa kita belum benar-benar mengenal siapa mereka. Karena kenyataannya, setiap individu membawa ketidaksempurnaan, luka batin, dan kebiasaan yang mungkin di awal terasa asing, bahkan mengganggu.

Pernikahan sejati dimulai ketika kita mampu menyadari dan menerima ketidaksempurnaan tersebut. Alih-alih mencari sosok sempurna, pernikahan menjadi wadah untuk saling belajar, memahami, dan tumbuh bersama, dalam suasana yang jujur dan penuh empati.

Pernikahan Sebagai Proses Belajar Seumur Hidup

Salah satu gagasan sentral dalam On Marriage adalah bahwa cinta dan pernikahan bukan sekadar perasaan, melainkan keterampilan yang harus dipelajari dan terus diasah. De Botton menulis, “Love is a skill, not just an enthusiasm.” Pernikahan bukan tentang mempertahankan perasaan berbunga-bunga, melainkan tentang kesediaan untuk terus belajar menjadi pasangan yang lebih baik, hari demi hari.

Ia menekankan bahwa kesiapan menghadapi frustrasi adalah bagian penting dalam membangun pernikahan yang sehat. “We are properly ready for marriage when we are strong enough to embrace a life of frustration,” tulisnya. Artinya, pernikahan yang sukses bukanlah yang bebas dari konflik, tetapi yang mampu mengelola, memahami, dan mengambil pelajaran dari konflik tersebut.

De Botton juga menyoroti pentingnya komunikasi efektif dan empati dalam hubungan pernikahan. Banyak pasangan, katanya, terlalu mengandalkan asumsi bahwa pasangan seharusnya mengerti perasaan dan keinginan kita tanpa perlu diungkapkan. Padahal, cara berpikir seperti ini justru menjadi akar banyak kesalahpahaman. Ia mendorong setiap pasangan untuk mau saling berbagi perasaan, kebutuhan, dan harapan dengan jelas dan penuh kasih.

Menjalani Pernikahan Sebagai Perjalanan Spiritual

Lebih jauh, de Botton melihat pernikahan bukan sekadar ikatan hukum atau sosial, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang membantu individu berkembang dalam kerangka komitmen jangka panjang. Dalam bukunya ia menulis, “To marry is to recognise that we require structure to insulate ourselves from our urges. It is to lock ourselves up willingly, because we acknowledge the benefits of the long term; the wisdom of the morning after the storm.”

Pernikahan, menurutnya, adalah kesediaan untuk membatasi diri dari godaan demi menjaga komitmen, karena di sanalah pelajaran hidup terbesar sering kali ditemukan. Ia menyebut bahwa pernikahan memberi ruang bagi individu untuk menghadapi sisi gelap dirinya, belajar mengendalikan ego, dan menemukan kebijaksanaan setelah melewati berbagai badai dalam hubungan.

Sebuah Panduan Bijaksana untuk Pasangan Masa Kini

On Marriage hadir dengan gaya penulisan yang reflektif dan penuh wawasan, menyajikan pandangan realistis sekaligus penuh kehangatan tentang pernikahan. Buku ini seolah menjadi pengingat bahwa di balik segala tantangan, pernikahan menyimpan potensi besar untuk pembelajaran tentang kesabaran, pengertian, dan cinta yang matang.

Buku ini sangat direkomendasikan, tidak hanya untuk pasangan yang telah menikah, tetapi juga bagi mereka yang tengah merencanakan pernikahan. Melalui pemikiran Alain de Botton, pembaca diajak untuk merenungkan ulang makna pernikahan, menjauh dari ekspektasi romantis yang tidak realistis, dan mulai membangun hubungan yang sehat, jujur, serta berakar pada komitmen jangka panjang.

Karena sejatinya, pernikahan bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna, tetapi tentang belajar mencintai secara dewasa — dengan segala keterbatasan, kebiasaan aneh, dan luka yang dibawa masing-masing. Alain de Botton mengingatkan kita bahwa cinta yang kuat adalah cinta yang tumbuh, bukan cinta yang sekadar hadir.(*)

Visited 1 times, 1 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x