Waspada! Pengaruh Polutan terhadap Kesuburan Pasangan di Kota Besar

Andi dan Dita adalah potret pasangan milenial urban yang sempurna. Keduanya berusia awal tiga puluhan, memiliki karier yang menanjak di sebuah perusahaan multinasional di jantung Jakarta, dan tinggal di sebuah apartemen modern dengan pemandangan gemerlap kota. Mereka menjalani hidup dengan kesadaran penuh akan kesehatan. Pagi hari dimulai dengan smoothie buah organik, makan siang diisi dengan salad yang dibeli dari gerai makanan sehat, dan botol air mineral premium selalu menemani ke mana pun mereka pergi. Tiga tahun menikah, mereka merasa inilah saat yang tepat untuk menyambut anggota keluarga baru.
Namun, bulan demi bulan berlalu tanpa hasil. Kalender yang dulu hanya penanda jadwal kerja, kini dipenuhi lingkaran-lingkaran penanda masa subur Dita. Antusiasme perlahan berubah menjadi kecemasan. “Kita sudah melakukan segalanya dengan benar, kan?” bisik Dita pada Andi di suatu malam, setelah satu lagi tes kehamilan menunjukkan hasil negatif. Andi hanya bisa memeluknya erat, menyembunyikan kebingungannya sendiri. Mereka tidak merokok, jarang minum alkohol, dan rutin berolahraga. Logikanya, tidak ada yang salah.
Frustrasi membawa mereka ke klinik fertilitas ternama. Dokter menyambut mereka dengan senyum ramah, namun pertanyaannya sedikit di luar dugaan. Selain riwayat medis, sang dokter bertanya tentang hal-hal yang mereka anggap sepele. “Seberapa sering Anda minum dari botol plastik? Apakah Anda sering memanaskan makanan di wadah plastik dalam microwave? Apa pekerjaan Anda mengharuskan terpapar polusi udara setiap hari?”
Andi dan Dita saling berpandangan. Botol plastik adalah teman sehari-hari. Memanaskan bekal makan siang di kantor dengan wadah plastiknya adalah ritual. Dan perjalanan menembus kemacetan Jakarta? Itu adalah makanan mereka setiap pagi dan sore. Mereka tidak pernah berpikir bahwa semua itu berhubungan dengan kamar tidur mereka.
Hasil tes laboratorium datang beberapa minggu kemudian, membawa sebuah kejutan pahit. Dokter menjelaskan dengan sabar, menunjuk pada angka-angka di kertas. Kualitas sperma Andi menunjukkan masalah pada morfologi (bentuk) dan motilitas (kemampuan berenang). Di sisi lain, cadangan sel telur Dita sedikit lebih rendah dari yang diharapkan untuk usianya.
“Secara medis, ini bisa disebut sebagai unexplained infertility atau infertilitas yang penyebabnya tidak sepenuhnya jelas,” ujar dokter. “Tapi, melihat gaya hidup perkotaan Anda, saya punya dugaan kuat kita sedang berhadapan dengan musuh yang tak terlihat: polutan lingkungan.”
Istilah itu terasa asing sekaligus menakutkan. Polutan? Bukankah itu hanya tentang asap knalpot dan limbah pabrik? Dokter kemudian memaparkan sebuah realitas baru. Musuh itu ada di dalam botol air mineral yang mereka minum, menempel pada sayuran non-organik yang mereka makan, dan bahkan terlepas dari wadah plastik saat dipanaskan. Musuh itu bernama mikroplastik, ftalat, Bisfenol A (BPA), dan pestisida.
Andi dan Dita tercenung. Selama ini mereka fokus menjaga tubuh dari hal-hal yang terlihat, namun abai terhadap ancaman mikroskopis yang menyusup lewat makanan, air, dan udara. Mereka menyadari, gaya hidup sehat yang mereka banggakan ternyata memiliki lubang besar yang tak pernah mereka sadari. Kehidupan modern yang mereka nikmati, dengan segala kepraktisannya, ternyata menyajikan pedang bermata dua. Impian mereka untuk menimang buah hati kini harus berhadapan dengan fakta bahwa musuh terbesar mereka bukanlah faktor genetik atau penyakit, melainkan ‘hantu’ tak kasat mata yang mereka hirup, makan, dan sentuh setiap hari. Kisah mereka adalah cerminan dari jutaan pasangan lain di kota-kota besar yang mungkin tidak menyadari bahwa lingkungan modern mereka secara perlahan menggerogoti fondasi paling dasar dari kehidupan: kemampuan untuk bereproduksi.
Bagaimana Polutan Merusak Kualitas Sperma?
Cerita Andi bukanlah fiksi. Paparan polutan lingkungan secara ilmiah terbukti menjadi salah satu faktor utama penurunan kualitas sperma secara global. Zat kimia seperti ftalat (digunakan untuk membuat plastik lentur) dan BPA (terdapat pada plastik keras dan lapisan kaleng makanan) dikenal sebagai “pengganggu endokrin”. Artinya, senyawa ini meniru hormon alami dalam tubuh dan mengacaukan sistem reproduksi pria.
Sebuah studi besar yang dirilis pada tahun 2023 dalam jurnal Environmental Pollution menemukan korelasi kuat antara konsentrasi mikroplastik dalam air mani dengan penurunan motilitas dan morfologi sperma. Partikel-partikel kecil ini diduga menyebabkan stres oksidatif dan peradangan pada testis, pabrik sperma dalam tubuh.
Dampaknya secara spesifik meliputi: Penurunan Jumlah Sperma: Produksi sperma menjadi lebih sedikit. Motilitas Buruk: Sperma kehilangan kemampuan untuk “berenang” lurus dan cepat menuju sel telur. Morfologi Abnormal: Banyak sperma yang memiliki bentuk cacat (kepala ganda, ekor bengkok), sehingga tidak mampu membuahi sel telur.
Ancaman Serupa pada Kualitas Sel Telur Perempuan
Perempuan tidak luput dari ancaman ini. Kesehatan sel telur sangat bergantung pada keseimbangan hormonal yang rapuh. Pestisida, seperti glifosat yang sering ditemukan pada produk pertanian non-organik, dan BPA dapat mengganggu siklus ovulasi dan merusak DNA di dalam sel telur.
Menurut riset yang dipublikasikan oleh National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS), paparan BPA bahkan dalam dosis rendah dapat memengaruhi pematangan sel telur dan menurunkan peluang keberhasilan implantasi embrio di dinding rahim. Ini menjelaskan mengapa perempuan seperti Dita bisa mengalami penurunan cadangan ovarium lebih cepat dari seharusnya. Kualitas sel telur yang buruk meningkatkan risiko keguguran dan kegagalan program bayi tabung (IVF).
Bukan Berarti Pasrah! Langkah Praktis untuk Melawan
Meskipun terdengar menakutkan, pengetahuan ini memberi kita kekuatan untuk bertindak. Pasangan perkawinan dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengurangi paparan polutan dan meningkatkan peluang kesuburan mereka.
Pertama, Ganti Plastik dengan Kaca atau Stainless Steel: Mulailah dengan hal paling mendasar. Gunakan botol minum dan wadah bekal dari kaca atau stainless steel. Jangan pernah memanaskan makanan dalam wadah plastik di microwave.
Kedua, Pilih Makanan dengan Bijak: Jika memungkinkan, pilih produk organik untuk mengurangi paparan pestisida. Cuci semua buah dan sayuran secara menyeluruh dengan air mengalir sebelum dikonsumsi.
Ketiga, Filter Air dan Udara Anda: Pertimbangkan untuk menggunakan filter air di rumah untuk menyaring kontaminan. Air purifier dengan filter HEPA juga dapat membantu mengurangi polutan udara di dalam ruangan.
Keempat, Kurangi Makanan Kalengan: Lapisan dalam banyak kaleng makanan mengandung BPA. Kurangi konsumsi makanan kalengan atau carilah produk dengan label “BPA-Free”.
Kelima, Perhatikan Produk Perawatan Diri: Beberapa kosmetik dan produk perawatan tubuh mengandung ftalat (sering disamarkan sebagai fragrance atau parfum). Pilihlah produk dengan bahan alami dan label yang jelas.
Kisah Andi dan Dita adalah pengingat bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya tentang apa yang ada di dalam tubuh kita, tetapi juga tentang dunia di sekitar kita. Di tengah hiruk pikuk kehidupan perkotaan, pengaruh polutan terhadap kesuburan adalah ancaman nyata yang sering terabaikan. Dengan meningkatkan kesadaran dan membuat perubahan kecil namun signifikan dalam gaya hidup, setiap pasangan dapat membangun pertahanan yang lebih kuat untuk melindungi impian mereka memiliki keturunan. Perjuangan ini bukan hanya tentang medis, tetapi juga tentang bagaimana kita beradaptasi untuk hidup lebih sehat di dunia yang terus berubah.(*)