Hukum Berkurban Menurut Empat Mazhab: Wajib atau Sunnah?

Setiap Iduladha, umat Islam di seluruh dunia berbondong-bondong melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah SWT. Namun, tahukah kamu bahwa di kalangan para ulama fiqih terdapat perbedaan pandangan tentang hukum berkurban? Perbedaan ini tercermin dalam empat mazhab besar dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Artikel ini akan mengulas secara ringkas hukum berkurban menurut keempat mazhab tersebut, lengkap dengan kutipan penting dari kitab-kitab rujukannya.
Apa Itu Kurban?
Secara bahasa, kurban berarti mendekatkan diri. Sedangkan menurut istilah syariat, kurban adalah menyembelih hewan ternak tertentu pada hari Iduladha dan hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) dengan niat beribadah kepada Allah SWT.
Perintah berkurban didasarkan pada firman Allah SWT:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Dan juga hadits Nabi SAW:
“Barangsiapa memiliki kelapangan (harta) namun tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim)
Hadits ini menjadi salah satu dalil kuat dalam membahas hukum kurban, meski interpretasinya berbeda antar mazhab.
Hukum Kurban Menurut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memandang hukum kurban sebagai wajib bagi setiap Muslim yang mampu. Kewajiban ini didasarkan pada hadits di atas, yang oleh ulama Hanafiyah dipahami sebagai perintah tegas.
Imam Abu Hanifah berkata:
“Kurban adalah wajib bagi orang yang mampu, karena perintahnya bersifat tegas dan adanya ancaman bagi yang meninggalkannya.” (Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili)
Di mazhab Hanafi, orang yang terkena kewajiban kurban adalah Muslim dewasa, berakal, merdeka, mukim (tidak sedang safar), dan memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok serta utangnya.
Hukum Kurban Menurut Mazhab Maliki
Dalam mazhab Maliki, hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Artinya, meski tidak wajib, meninggalkannya bagi yang mampu dianggap makruh.
Imam Malik mengatakan:
“Aku tidak suka bagi orang yang mampu untuk meninggalkan kurban.” (Al-Mudawwanah al-Kubra)
Artinya, orang yang memiliki kelapangan harta sebaiknya tidak meninggalkan kurban karena sangat dianjurkan oleh syariat dan menjadi kebiasaan Nabi SAW serta para sahabatnya.
Hukum Kurban Menurut Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunnah muakkadah bagi setiap Muslim yang mampu. Bedanya, dalam mazhab ini tidak ada unsur makruh jika ditinggalkan.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan:
“Berkurban hukumnya sunnah muakkadah bagi orang yang mampu. Tidak wajib, dan tidak pula makruh bagi yang meninggalkannya.”
Mazhab Syafi’i memandang kurban sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah yang memiliki pahala besar, namun tetap dalam kategori sunnah, bukan wajib.
Hukum Kurban Menurut Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali memiliki dua pendapat, tetapi yang paling kuat adalah sunnah muakkadah. Pendapat ini sejalan dengan mazhab Maliki dan Syafi’i.
Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan:
“Kurban adalah sunnah muakkadah dan tidak wajib menurut pendapat yang paling masyhur dari Imam Ahmad.”
Namun, sebagian ulama Hanabilah berpendapat wajib bagi yang mampu, khususnya jika sudah bernazar untuk berkurban.
Apapun hukum fiqih yang dianut, esensi dari kurban adalah ketakwaan dan keikhlasan. Allah SWT berfirman:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Kurban bukan hanya soal menyembelih hewan, melainkan bentuk nyata ketaatan seorang hamba, berbagi kebahagiaan dengan sesama, dan menghidupkan syiar Islam.
Perbedaan pendapat para ulama menunjukkan keluwesan syariat Islam dalam menyesuaikan dengan kemampuan umatnya. Baik wajib maupun sunnah, berkurban tetap menjadi ibadah yang sangat mulia dan bernilai besar di sisi Allah SWT. Semoga kita semua diberi kemampuan untuk menunaikan ibadah kurban dengan niat yang tulus dan hati yang bersih.Wallahu a’lam. (*)