Hukum Aqiqah dan Cara Menjalankannya
Merujuk pada kitab al-Majmu Syarah Muhadzab Karya Imam Nawawi istilah aqiqah diambil dari kata Aqqun yang artinya memotong.
Ulama lainnya menjelaskan bahwa asal aqiqah adalah rambut yang ada di kepala bayi yang baru lahir. Kambing yang disembelih pada waktu tersebut dinamakan aqiqah karena pada waktu penyembelihan rambut sang bayi juga dipotong.
Sementara menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitabnya Fiqhul Islami Waadillatuhu mengatakan bahwa aqiqah memiliki makna penyembelihan hewan yang dilakukan karena kelahiran anak dan dilakukan pada hari ketujuh kelahiran.
Secara etimologis (asal-usul kata), aqiqah berarti rambut yang ada di kepala bayi yang baru lahir. Orang-orang Arab lantas menamakan aktivitas penyembelihan hewan ketika melakukan pengguntingan rambut si bayi itu dengan aqiqah.
Lalu apa hukumnya aqiqah?
Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjalankan aqiqah. Menurutnya ada tiga kelompok, yaitu:
Segolongan ulama berpendapat, diantara mereka adalah ahlu zhahir, bahwa hukum aqiqah adalah wajib. Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunah. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa aqiqah bukan wajib dan bukan pula sunah, ada yang mengatakan bahwa kesimpulan akhir pendapatnya adalah tathamu’ (kebaikan).
Menurut madzhab Syafi’i, aqiqah hukumnya sunnah dilakukan oleh pihak-pihak yang wajib menafkahi si anak.
Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan pendapat para ulama tentang hukum aqiqah tersebut dikarenakan perbedaan dalam memahami hadis-hadis Nabi berikut ini:
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (seekor hewan kurban) untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya) dan dihiIangkan kotorannya.”
Hadis lainnya sebagai berikut:
“Aku tidak menyukai kedurhakaan, barangsiapa yang mendapatkan seorang bayi, lalu ia ingin menyembelih (hewan kurban) untuk anaknya tersebut, maka Iakukanlah.”
Jenis Hewan untuk Aqiqah
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa hewan untuk aqiqah adalah hewan yang dibolehkan disembelih untuk berkurban.
Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili hewan yang akan disembelih sebagai aqiqah, baik dari segi jenis, usia, dan sifat-sifatnya yang harus bebas dari cacat, tidak berbeda dari hewan kurban. Jenis hewan yang akan diaqiqahkan itu adalah unta, sapi, atau domba. Namun menurut satu pendapat, tidak boleh beraqiqah dengan sapi atau unta.
Jumlah Hewan yang Dipotong Pada Aqiqah
Menurut madzhab Maliki, jumlah hewan untuk aqiqah itu adalah satu ekor baik yang lahir adalah anak laki-laki atau perempuan. Hal itu didasarkan pada hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw menyembelih satu ekor domba jantan ketika Hasan dan Husein lahir. Menurut madzhab ini jumlah hewan yang seperti ini adalah yang paling logis dan memudahkan.
Sementara menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, jika yang lahir adalah anak laki-laki, maka disembelih dua ekor domba, sementara jika anak perempuan satu ekor. Hal itu didasarkan pada riwayat yang disampaikan Aisyah, “Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba yang sama kualitasnya, sementara untuk anak perempuan satu ekor.”
Kapan Waktu Aqiqah?
Menurut Jumhur ulama, aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahirannya. Sebagian ulama lainnya berpendapat dibolehkan melakukan aqiqah pada tujuh hari kedua dan ketiga (maksudnya hari ke-14 dan hari ke-21).
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali jika aqiqah dilakukan sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka tetap dibolehkan.
Sementara madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa tidak dibolehkan melakukan aqiqah selain ayah si bayi, sebagaimana tidak dibolehkan bagi seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah besar.
Meskipun demikian, sekelompok ulama madzhab Hambali mengemukakan pendapat yang membolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri. Selain itu, aqiqah juga tidak khusus pada waktu si anak masih kecil saja, tetapi sang ayah boleh saja mengaqiqahkan anaknya sekalipun telah baligh. Sebab, tidak ada batasan waktu untuk melakukan aqiqah.
Do’a Memotong Hewan Aqiqah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ رَبِّي اِنَّ هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلَانُ ابْنِ فُلاَنٍ اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا فِدَاءً لِفُلاَنِ ابْنِ فُلَانٍ مِنَ النَّارِ.
Artinya:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, Inilah aqiqah (… fulan bin fulan) Ya Allah semoga aqiqah ini Engkau jadikan sebagai tebusan bagi Fulan (agar terhindar) dari siksa api neraka.”
Hukum Daging dan Kulit Hewan Aqiqah
Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili hukum daging aqiqah seperti daging kurban, dalam arti sebagiannya boleh dimakan oleh orang yang beraqiqah dan sebagian lagi disedekahkan. Tidak dibolehkan sama sekali menjualnya. Lebih lanjut, disunnahkan memasak daging tersebut, lantas pihak keluarga dan orang-orang lainnya memakan daging tersebut di rumah si pemilik. Menurut madzhab Maliki, makruh hukumnya mengadakan aqiqah dalam bentuk perayaan dimana orang-orang diundang menghadirinya.
Hikmah Aqiqah
Dalam buku Jawahirul Fiqh karya Drs. H. Moh Rifa’i disebutkan ada tiga hikmah dilakukannya aqiqah:
Pertama, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan karunia yang telah diberikan. Kedua, akan menambah rasa cinta anak kepada orang tuanya, karena si anak merasa telah diperhatikan dan disyukuri kehadirannya di dunia ini. Bagi orang tua sebagai bukti keimanannya kepada Allah. Ketiga, mewujudkan hubungan baik dengan tetangga dan saudara-saudaranya yang ikut merasakan gembira dengan lahirnya seorang anak.
Demikian pengertian, hukum dan tata cara aqiqah dalam Islam. ***