Saat Kitab Kuning Bicara ‘Urusan Ranjang’: Membedah Seksualitas dalam Kitab Klasik Islam

Ilustrasi: Bing

Bayangkan sejenak, di sebuah sudut majelis taklim yang teduh, seorang kiai membuka lembaran kitab kuning yang mengilap karena sering dibaca. Udara dipenuhi aroma kertas tua dan kopi. Namun, topik yang dibahas hari itu membuat sebagian jamaah muda saling berpandangan: adab berhubungan suami istri. Jauh dari kesan kaku dan tabu, sang kiai justru mengulasnya dengan luwes, merujuk pada dua kitab legendaris: Ihya’ Ulumuddin dan Al-Uqud al-Lujjain.

Banyak yang mengira Islam adalah agama yang “malu-malu” saat membahas seksualitas. Padahal, jika kita menelusuri khazanah intelektualnya, kita akan menemukan diskusi yang sangat terbuka, mendalam, dan bahkan spiritual. Seksualitas dalam kitab klasik Islam bukan sekadar pemenuhan biologis, melainkan sebuah seni mengelola anugerah Tuhan yang sarat dengan nilai ibadah, etika, dan kebahagiaan bersama.

Ihya’ Ulumuddin: Seksualitas Sebagai Tangga Spiritual

Ketika nama Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) disebut, orang sering langsung teringat pada tasawuf dan penyucian jiwa. Namun, dalam mahakaryanya, Ihya’ Ulumuddin, sang Hujjatul Islam mendedikasikan satu bab khusus, Kitab Adab an-Nikah (Kitab tentang Etika Pernikahan), untuk membahas relasi suami istri secara komprehensif.

Bagi Al-Ghazali, aktivitas seksual dalam bingkai pernikahan memiliki tujuan yang luhur. Beliau tidak menafikan aspek kenikmatan. Sebaliknya, ia menyebut kenikmatan duniawi ini sebagai “gambaran kecil” dari kenikmatan surga, yang bisa mendorong seseorang untuk lebih taat agar meraih kenikmatan hakiki di akhirat.

Al-Ghazali menekankan pentingnya niat (intensi) yang benar. Ia menggarisbawahi setidaknya tiga niat utama dalam hubungan intim: Pertama, memperoleh keturunan saleh untuk melestarikan generasi. Kedua, menjaga diri dari perbuatan zina (tahshin), sebuah benteng moral bagi pasangan. Ketiga, memenuhi hak pasangan dan memberinya kebahagiaan, yang bernilai sedekah.

Kutipan penting dari Al-Ghazali mengingatkan kita, “Dan hendaklah ia (suami) tidak mendatangi istrinya seperti hewan yang menerkam, melainkan harus ada pendahuluan berupa cumbuan dan kata-kata mesra.”

Pendekatan Al-Ghazali ini sangat relevan. Kajian psikologi modern, seperti yang dipublikasikan dalam Journal of Sex & Marital Therapy, berulang kali menunjukkan bahwa komunikasi dan keintiman emosional adalah fondasi kepuasan seksual yang langgeng. Al-Ghazali telah membicarakannya seribu tahun lalu, membingkainya dalam spiritualitas.

Uqud al-Lujjain: Panduan Praktis Menuju Sakinah

Jika Ihya’ menawarkan kerangka filosofis dan spiritual, maka kitab Al-Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq az-Zaujain karya ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M), menyajikan panduan yang lebih praktis. Kitab tipis ini menjadi rujukan populer di banyak pesantren untuk membekali calon pengantin.

Syekh Nawawi membahas secara lugas hak dan kewajiban suami istri, termasuk dalam urusan ranjang. Beliau sangat menekankan pentingnya suami memahami kebutuhan istri. Meski beberapa pasalnya kerap menuai perdebatan karena dianggap patriarkis jika dibaca secara harfiah, semangat utama kitab ini adalah menciptakan harmoni.

Salah satu pesan kuatnya adalah larangan bagi suami untuk egois. Syekh Nawawi mengutip hadis yang menganjurkan suami untuk tidak terburu-buru menyelesaikan hasratnya sebelum sang istri juga mencapai kepuasan. Ini adalah penegasan tentang hak istri atas kenikmatan, sebuah konsep yang sangat progresif pada masanya.

Pemikir Islam kontemporer, seperti Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan konsep mubadalah (kesalingan), mengajak kita untuk membaca ulang kitab-kitab seperti Uqud al-Lujjain dengan kacamata resiprokal. Artinya, setiap anjuran yang ditujukan pada istri, pada hakikatnya juga berlaku bagi suami, demi mencapai tujuan bersama: sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Menemukan Kembali Khazanah yang Hilang

Mempelajari seksualitas dalam kitab klasik Islam seperti Ihya’ Ulumuddin dan Uqud al-Lujjain membuka mata kita. Para ulama terdahulu tidak memandang seks sebagai hal kotor yang harus dihindari, melainkan sebagai anugerah ilahi yang perlu dikelola dengan ilmu, adab, dan spiritualitas.

Mereka mengajarkan bahwa hubungan intim adalah dialog dua jiwa, bukan sekadar penyaluran hasrat sepihak. Ia adalah ibadah, seni, sekaligus pilar penopang keutuhan rumah tangga. Dengan memahami perspektif ini, kita tidak hanya membongkar tabu yang keliru, tetapi juga menemukan kembali panduan holistik untuk membangun relasi pernikahan yang sehat dan membahagiakan, baik di dunia maupun untuk bekal di akhirat.(*)

admin
Visited 1 times, 4 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x