Kiat Meraih Surga Bersama Keluarga (Bagian Terakhir) Mewujudkan Qurrata A’yun pada Anak
Kisah keluarga Kholilullah Ibrahim AS memberikan pelajaran kepada kita bahwa memiliki anak saleh butuh proses, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Proses pendidikan yang dilakukan oleh keluarga Ibrahim AS inilah yang saat ini kita kenal dan dikembangkan dalam teori pendidikan keluarga sebagai pendidikan informal.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang bersifat holistik, berbasis nasihat-nasihat, contoh dan suri tauladan. Orang tua bukan hanya sekedar memberi contoh tapi menjadi contoh dalam kehidupan nyata anaknya. Disamping itu juga ada proses pembiasaan dan pengawasan. Dan hal-hal seperti ini sangat berperan penting dalam membangun karakter anak.
Kunci sukses pendidikan keluarga terletak pada peran kedua orang tua, ayah dan ibu yang disamping menurunkan genetika kesalehan, juga hendaknya mengembangkan budaya, nilai-nilai dan suasana keluarga yang kondusif bagi anak untuk berkembang menjadi anak saleh. Ayah dan ibu harus berkolaborasi dan berbagi peran yang saling melengkapi dalam mendidik anak sehingga anak menjadi qurrata a’yun sebagaimana yang diidamkan.
Karena pendidikan keluarga berbasis nasihat, contoh dan suri tauladan maka proses pembiasaan dan pengawasan menjadi sangat penting. Apa yang dilihat anak dari orang tua sangat besar kemungkinannya ditiru, karena anak adalah peniru yang terbaik, terutama ketika mereka masih balita dan dalam proses identifikasi diri. Ketika anak mengikuti dan ini dilakukan terus menerus, maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan mereka. Untuk itulah orang tua hendaknya hati-hati dalam bersikap, bertindak dan bertutur kata.
Terkait proses pembiasaan, kita bisa lakukan dengan mengkondisikan anak agar terbiasa melakukan apa yang kita inginkan, dan juga bisa melalui apa yang mereka lihat dari sikap, tindakan dan tutur kata kita sehari hari. Namun yang perlu kita sadari juga, anak bisa juga mencontoh, meniru dari apa yang mereka lihat di lingkungan di sekitar mereka. Jadi bukan hanya kita tapi lingkungan juga ikut mempengaruhi. Untuk itulah pentingnya peran pengawasan orang tua dalam menjaga dan melindungi nilai-nilai dan kultur yang dibangun dalam keluarga. Jangan sampai nilai-nilai dan kultur yang sudah dibangun dalam keluarga menjadi rusak karena faktor dari luar.
Proses pembiasaan inilah yang akan membentuk karakter anak yang nantinya akan membuahkan akhlak yang baik. Dalam bahasan ini, saya tidak ingin masuk pada istilah-istilah teknis terkait dengan pendidikan Islam apakah menggunakan tarbiyah, ta’dib, taklim atau yang lainnya. Namun yang jelas dalam proses pendidikan anak terutama terkait dengan akhlak perlu adanya pembiasaan dan bimbingan. Akhlak yang dimaksud bukan semata hubungan manusia dengan manusia, tapi juga terkait bagaimana akhlak kita kepada Allah dan makhluk Allah yang lain. Bukankah kata akhlak itu berasal dari kata “kholaqa ( خلق)“ yang dalam derivasi katanya muncul kata “Kholiq ( خالق) , Makhluk ( مخلوق) dan akhlak ( أخلاق).
Adanya proses pembiasaan dalam pendidikan, misalnya bisa kita lihat bagaimana Rasul SAW memerintahkan kita untuk menyuruh anak agar sholat saat berumur tujuh tahun—usia yang belum memasuki masa baligh— artinya untuk mendidik agar anak sholat, sudah dimulai kurang lebih tiga tahun sebelum anak memasuki masa akil baligh. Bila kita sependapat anak memasuki masa baligh saat usia sepuluh tahun maka ada waktu pembiasaan kurang lebih tiga tahun. Apalagi jika akil balighnya usia lima belas tahun, tentu lebih lama proses pembiasaannya. (Untuk tanda-tanda akil baligh silahkan merujuk ke kitab *Safiynah an-Naja*, *Kasyifatu as-Saja*, *Fath al-Qorib dan lain-lain).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan).”.(HR. Abu Daud dan Ahmad).
Proses pembiasaan melakukan yang baik hendaknya dilakukan terus menerus dan kita harus menjadi contoh dalam hal ini. Kita tularkan *bibit kebaikan* pada anak kita, insyaaAllah dia akan jadi baik. Kita tularkan *bibit kesalehan* insyaaAllah anak akan jadi saleh. Bukankah membaguskan akhlak anak dengan mendidiknya secara baik dan benar itu merupakan salah satu hak mereka dari kita, sebagaimana Rasul SAW bersabda:
عن ابن عبَّاس قال: قالوا: يا رسولَ الله، قد علِمنا حقَّ الوالد، فما حقُّ الولَد؟ قال:(أن يُحسن اسمَه، ويُحسن أدبَه)
Dari Ibnu Abbas RA, para sahabat berkata:” Ya Rasulallah engkau telah mengajarkan kepada tentang hak orang tua (dari anak), lalu apa hak anak (dari orang tua)? Rasul SAW bersabda: “ Membaguskan namanya (memberikan nama yang baik) dan membaguskan adabnya.” ( HR al-Baihaqi di kitab Syu’b al-Iman).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Al-Hakim, Rasul SAW bersabda:
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.”
Akhirnya, mari kita rawat dan didik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya karena mereka investasi kita di masa depan, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Dalam hal ini, Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam firman-Nya
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا …
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (Q.S. al-Tahrim: 6)
Dalam menafsirkan ayat di atas Kitab Tafsir “al-Dhaw’u al-Munir ‘ala al-Tafsir” jilid VI mengutip ungkapan sahabat nabi Abdullah bin Umar yang sangat menggugah:
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Ungkapan ini saya temukan juga di kitab Tuhfah al Maudud bi ahkam al-Maulud yang dikarang oleh Ibnu Qoyyim al-jauziyah pada bab ke lima belas, Fi Wujub Ta’dib al-Awlad…)
Di akhir renungan saya kutipkan nasihat indah dari Imam al-Ghazali dari kitab Tarbiyat al-Awlad wa Sailu wa Ahdaf yang ditulis oleh Nahid Ilyas, cetakan Maktabah Wahbah, diterbitkan tahun 2012 pada halaman 91:
“ketahuilah bahwa metode untuk melatih (mendidik) anak-anak merupakan masalah yang sangat urgent dan harus mendapat perhatian serius. Anak merupakan amanah di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan masih murni yang belum di ukir dan digambar. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dibiasakan—dan dididik— untuk melakukan kebaikan, niscaya anak akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta diabaikan (tidak diperhatikan) seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya”
Ya Allah jadikanlah anak-anak kami, anak-anak yang membuat kami bangga di hadapan-MU, bukan menjadi anak-anak yeng membuat kami malu dan terhina di haribaan-Mu. Amiin. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.