Di KUHP Baru, Laki-laki Menyuruh Pasangannya untuk Aborsi Luput Dipidana?
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah disahkan oleh DPR RI pada 6 Desember 2022 yang lalu. Pengesahan R-KUHP ini masih memicu pro-kontra di masyarakat.
Salah satu Pasal yang masih menimbulkan masalah adalah pasal tentang aborsi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam Siaran Persnya menyebutkan bahwa masih ada pengabaian hak korban kekerasan seksual akibat tidak adanya rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi.
Sebagaimana kita tahu, praktik aborsi di masyarakat seringkali terjadi karena adanya Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Baik pada pasangan yang belum menikah maupun pada pasangan yang sudah menikah.
Pada pasangan yang belum menikah misalnya, salah satu pihak, biasanya dari pihak laki-laki atau keluarga laki-laki merasa belum siap menerima kehadiran bayi dari perempuan pasangan laki-laki itu. Karena mereka merasa itu aib atau anaknya masih sekolah dan alasan lainnya.
Salahsatu solusinya yang mengemuka adalah pihak laki-laki menyuruh bahkan memaksa si perempuan yang hamil itu untuk melakukan aborsi atau pengguguran kandungan.
Seperti kisah seorang perempuan yang dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya berikut ini. “AN dan korban merupakan sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan asmara selama beberapa bulan. Atas dasar rasa suka sama suka, keduanya sudah beberapa kali melakukan hubungan intim yang kemudian membawa korban hamil dengan usia kandungan 11 minggu. Malang bukannya mempertanggungjawabkan perbuatannya, AN malah memaksa korban menggugurkan janin yang ada di dalam perut perempuan tersebut.” (Radarkepahiang.id)
Dalam kondisi lemah secara fisik dan tertekan secara mental, seorang perempuan yang hamil di luar nikah seringkali tidak mempunyai banyak pilihan selain menuruti untuk melakukan aborsi.
Pada KUHP yang Baru Pasal 463 disebutkan bahwa Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pada ayat 2 pasal tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Pada pasal KUHP ini masih fokus kepada perempuan yang melakukan aborsi. Meskipun ada pengecualian bagi korban perkosaan atau memiliki indikasi kedaruratan medis. Namun, tidak menjadi pengecualian bagi perempuan yang sesungguhnya ia terpaksa melakukan aborsi tersebut karena paksaan pacarnya atau keluarga pacarnya.
Selain pada KUHP, aborsi sesungguhnya telah diatur pada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 194. Pada pasal ini disebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 75 pada undang-undang Kesehatan yang dimaksud mengatur secara rinci, apa dan bagaimana aborsi yang boleh dilakukan. Namun demikian, pada pasal ini pun tidak menyinggung tentang orang atau pihak-pihak yang menyuruh dan memaksa seorang perempuan hamil untuk melakukan aborsi.
Pada Pasal 20 KUHP yang baru bagian “d” disebutkan bahwa:
“Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika:
d. menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.”
Ada bagian kalimat yang dibuang di KUHP yang baru jika dibandingkan dengan KUHP lama Pasal 55 ayat (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: Ke-1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan.”
Jika kita memahami, sebagaimana Komnas Perempuan pahami, bahwa orang yang menyuruh atau memaksa untuk melakukan aborsi tidak masuk pada Pasal 20 bagian “d” KUHP baru sebagaimana disebutkan di atas, maka orang yang menyuruh atau memaksa untuk melakukan aborsi luput dari jerat pidana.
Tapi jika kita memahami, mungkin juga pemahaman anggota DPR yang merumuskan KUHP baru tersebut, bahwa kalimat “mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan” sebagaimana tertulis di KUHP lama, sudah masuk pada Pasal 20 bagian ‘d”, maka orang yang menyuruh seseorang untuk melakukan aborsi terkena pidana sebagaimana pelaku Tindak Pidana. Yaitu sesuai Pasal 463 dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Atau dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 194.
Mungkin jika kalimat “mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan” sebagaimana tertulis di KUHP lama masih dicantumkam di KUHP baru, maka kesalahan pemahaman atau kesalahan tafsir terhadap Pasal 20 bagian “d” tersebut dapat dihindari.
Demikian pemahaman dan penafsiran pasal tentang pidana aborsi dalam KUHP yang baru. (MA)***