Ibuku, Ibu Hajar dan Ismail
“Kring, kring, kring…”. Ringtone khas ini berbunyi. Di layar HP muncul nama Eyang Putri. Ibu menelpon dari dusun (kampung) halaman.
“Le, waras kabeh? (Nak, sehat semua?)” Sapa Ibu membuka obrolan siang, 13 Dzulhijjah. Tole, demikian Ibu memanggil anak lelakinya ini.
Ibu dan juga ayah tidak bisa berWA. Mendengar suara anak cucunya sudah cukup membahagiakan mereka. Salah satu hobi di hari tuanya, menelpon anak cucu. Seperti siang kemarin, setiba aku di Makkah dari Mina, Ibu menelepon anak mbarep–nya (anak pertamanya) ini.
“Iki ayahmu melok ngerungokno (Ini ayahmu ikut mendengarkan),” ungkap Ibu.
Keduanya sering me-loud speaker HP saat telepon sama anak-anaknya agar bisa bersama-sama mendengarkan setiap obrolan jarak jauh.
Dalam obrolan Ibu sempat membandingkan nafar awal di jamannya berhaji, akhir 1980. Saat itu jamaah harus ke Makkah untuk Thawaf Ifadah setelah Jumroh Aqobah, baru kembali ke Mina melempar jumroh berikutnya. Saya jelaskan. Zaman sudah berubah. Demi kemaslahatan jamaah yang jumlahnya terus bertambah, dan pertimbangan arus lalu kepergiaan jamaah, thawaf ifadah dilakukan setelah lempar jumroh selesai semua. Kecuali untuk para jamaah haji khusus.
“Ibu mau bengi wetenge luoro gak karuan. Tak celuki peyan. Moro-moro waras. Pas lapo mau bengi, ndongakno Ibu tah le (Ibu semalam perutnya sakit tidak karuan. Ibu panggil-panggil dirimu. Tiba-tiba sembuh. Sedang apa semalam, mendoakan Ibu nak?)”.
“Kulo mantun thawaf Ifadhoh kale Sa’i Bu (Saya selesai thawaf ifadhoh dan Sa’i, Bu). Ya selepas Thawaf hampir tengah malam, saya bersimpuh di Multazam memanjatkan permintaan agar penyakit yang mengganggu Ibu diangkat. Saya memohon di tempat mustajab itu umur yang panjang untuk ayah, ibu dan agar Yang Maha Penyayang berkenan menyayangi keduanya yang hingga kini tanpa berharap apa-apa, tetap menyayangi kami, anak-anaknya”. Terangku pada ibu.
“Nyetrum berarti yo Le (Menyetrum berarti ya Nak),” ujar Ibu terbata-terbata seakan menangis.
Sebelum mengakhiri pembicaraan, kami lanjut bercerita tentang Sai. Ibu teringat Desember tahun lalu saat kami bersama-sama umroh.
Saat itu, Ibu yang dari awal semangat melaksanakan umroh dari Hotel, mendadak merasa tidak confidence dan ingin naik kursi roda selepas thawaf.
“Ibu pegel Le. Gak kuat rasane (Ibu pegal Nak, Tidak kuat rasanya).”
Segera saya mencari jasa pendorong kursi roda di dekat Shofa. Akhirnya kami sekeluarga pun terpisah. Ayah bersama Istri dan anak-anak, saya mengawal Ibu didorong oleh petugas kursi roda melibas ruas jalan khusus di Masa’a. Kata melibas ini menggambarkan betapa cepatnya langkah si pendorong roda waktu itu.
“Ibu aminkan saja. Kulo sing ndungo (saya yang berdoa). Robbighfir, warham, wa’fu, watakarram, watajawwaz...” Saya membaca doa setengah berlari mengikuti laju kursi roda ibu. Selesai, Sa’i hanya kami berdua. Ibu mengelus-elus kepalaku, persis saat kecil dulu.
Seperti Ibu Hajar yang mondar-mandir dari Shofa ke Marwa mencari sesuatu buat anaknya, Ismail. Ibuku juga melakukan hal sama. Sebagai guru, Ibu setiap hari “sa’i” dari rumah di Beji ke Pasuruan dan sebaliknya. Ibu mengajar agama di SDN Kandang Sapi kemudian pindah mengajar di SMPN 1 Pasuruan. Kedua sekolah ini dekat dengan terminal bus Pasuruan, sehingga Ibu tinggal melangkah tanpa harus naik angkutan kota.
Bedanya dengan Ibu Hajar dalam jarak tempuh. Sa’i ibuku harus menempuh jarak sekitar 23 KM. Ibu Hajar jalan kaki, Ibu naik bus bernama Tjipto, Scala, Laju, Akas. Ibu sesekali jalan kaki dari jalan raya sekitar 1 KM ke rumah, jika ayah atau pak lik (paman) tidak menjemput. Jarak tempuh sa’i ibu memendek setelah pindah ngajar di MAN Bangil hingga akhirnya purnatugas sebagai guru.
Salah satu yang terekam di memori, Ibu dulu sering membawa boneka kecil, beberapa lembar kecil kain putih dan kapas. “Ini untuk praktik memandikan dan mengafani jenazah,” ungkap Ibu.
Jika Ibu Hajar meninggalkan zam-zam yang terus mengalir untuk kita anak cucunya, Ibu meninggalkan kenangan, ilmu kepada murid-muridnya. Setiap lebaran atau libur akhir tahun, rumah Ibu tak pernah sepi dari kunjungan mereka. Mulai yang sudah jadi jendral sampai yang biasa memandikan dan mengafani jenazah.
Ibu, sebagai ismailmu, aku memang tak bisa senurut dan setulus Ismailnya Ibu Hajar. Ismail sosok pilihan, shalih, dan baktinya kepada orang tua dan Rabb-nya tak bakal ditemukan padanannya. Dari garis keturunan Ismail, lahir kemudian Sang Penerang Zaman, Muhammad saw.
Tetapi ismailmu juga tidak putus harapan. Semoga yang Maha Pencipta memberikan kepada Ibu umur yang panjang untuk beribadah, mendoakan anak-cucu selalu. Sehingga darimu akan selalu lahir para dzurriyah, ismail-ismail lain, seperti Ismailnya Ibu Hajar yang shalih individunya dan memberi manfaat bagi kehidupan sesama. Doa dan ridhomu Bu, yang akan selalu jadi peneguh imanku pada Rabb ‘azza wajalla. Semoga.[]
Editor: Hafidzoh
- Ibuku, Ibu Hajar dan Ismail - 24/08/2019