Jurnalisme Sastrawi, Membaca Hasil Liputan Serasa Menikmati Cerpen
Buku yang ada di tangan saya ini berjudul “Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.” Buku ini bercover putih berbackground botol air mineral yang hampir memenuhi sebagian besar permukaan cover. Diterbitkan oleh Yayasan Pantau. Terbit pertama kalinya tahun 2005.
Buku yang disunting oleh Andreas Harsono dan Budi Setiyono ini berisi antologi hasil liputan yang ditulis dengan teknik-teknik sastra yang memikat. Membacanya membuat saya hanyut seperti sedang menikmati cerpen atau novel. Maria Hartiningsih, wartawan Kompas, mengomentari buku ini sebagai prosa terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia saat ini.
Sementara Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi Harian The Jakarta Post, penerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004 berkomentar “gabungan antara yang terbaik dari jurnalisme dan yang terbaik dari sastra dapat menghasilkan tulisan nonfiksi yang kuat dan efektif…inilah buktinya.”
Andreas Harsono dalam pengantarnya menulis bahwa kemunculan buku ini berawal dari keisengannya. Ia menuturkan begini:
“Pada Maret 2000, dari satu apartemen kecil di dekat Harvard Square, jantung kota Cambridge, Amerika Serikat, saya mengirim sepucuk email kepada dua mailinglist yang anggota-anggotanya kebanyakan orang Indonesia: wartawan, seniman, dosen, peneliti, dan sebagainya. Isinya satu pertanyaan yang diterangkan dengan agak panjang – lebar. Mengapa di Indonesia tak ada suratkabar di mana orang menulis narasi secara panjang dan utuh?”
Pada pengantarnya, Andreas mengungkapkan bagaimana awal mula jurnalisme model ini muncul. Berawal dari kemunculan antologi berjudul The New Journalism yang diterbitkan oleh Wolfe dan EW Johnson pada 1973.
Dalam memberikan kata pengantar antologi ini, begitu kata Andreas, Wolfe dan Johnson menulis bahwa genre ini berbeda dari reportasi sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail.
Lebih lanjut Andreas dalam pengantarnya mengatakan bahwa ada seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida bernama Roy Peter Clark yang mengembangkan standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W (who, what, where, when, why dan how) dalam penulisan naratif dikembangkan who berubah menjadi karakter, what menjadi alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif dan how menjadi narasi.
Dalam buku ini ada delapan liputan mendalam yang ditulis dengan menggunakan jurnalisme sastrawi. Di antaranya adalah tulisan Chik Rini berjudul “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Yaitu liputan mendalam tentang pembunuhan orang Aceh. Membaca tulisan ini saya ikut merasakan ketegangan, kengerian, kesedihan bahkan desing peluru.
Liputan lainnya adalah tentang seorang pemulung yang dibakar oleh teman-temannya. Pasalnya, Kebo, si pemulung yang dibakar itu sering membuat kesal teman-temannya. Puncaknya ia bersama dua perempuan sewaannya ribut dan berujung pada pembakaran gubuk milik Kebo. Pembakaran ini merembet ke gubuk-gubuk pemulung lainnya. Masalah inilah yang menjadi puncak kemarahan para pemulung lainnya hingga mereka tega menganiaya Kebo. Bahkan akhirnya mereka membakarnya.
Membaca liputan ini saya merasakan kengerian yang sangat luar biasa. Teriakan dan kemarahan para pemulung itu kepada Kebo begitu terasa. Ada enam liputan lagi yang sangat menarik untuk dibaca dan dinikmati layaknya menikmati sebuah cerpen yang memikat.***