Kiat Meraih Surga Bersama Keluarga (Bagian 5) – Mewujudkan Qurrata A’yun pada Anak

Ilustrasi: freepik.com

Jelang siang seorang ibu yang lagi “serius” menyetrika, minta tolong kepada anaknya untuk melihat masakan semur daging untuk persiapan makan siang. Si anak dengan sigap dan cekatan langsung berjalan menuju dapur guna memenuhi permintaan ibunya.

Anak: “Apa yang harus saya lakukan nih bu…?”
Ibu: “tolong liatin masakan semur ibu tuh.., airnya gimana atau kecapnya…..
Anak : “ Iya bu ..masih banyak kok ..kagak kering…”
Ibu : “ ok.. tapi tolong tambah kecap deh biar agak kental dikit..”
Anak : “Baik bu…apalagi nih bu…”.
Ibu : “ Oh iya…..Ibu tadi lupa….tolong kasih salam biar masakannya lebih siiip.”

Si anak mendengar ibu memintanya untuk memberi salam pada masakan semur tersebut, tanpa tanya lagi langsung dia agak mendekatkan mukanya ke arah panci semur dan memberikan salam. “ Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wa barakatuh.”

Ibu : “ sudah kasih salamnya.”

Anak : “sudah bu.”

Setelah ibu merasa semur sudah matang, si ibu meninggalkan pekerjaan menyetrikanya untuk mengecek semur dagingnya. Ketika ibu membuka pintu panci, dia bolak-balik daging semur, ibu tidak melihat ada daun salam. Lalu ibu bertanya pada anaknya.

Ibu : “Lho kan tadi ibu minta agar diberi salam….kok ini kagak ada..”

Anak : “Tadi sudah saya kasih salam bu,..assalamu’alaikum …”

Ibu sambal senyum berkata: “ walah wala le le…salam itu maksud ibu…daun salam bukan assalamu’alaikum…..”

Ini contoh kegagalan komunikasi…si Ibu meminta  sang anak agar memberikan daun salam, tapi si anak tidak paham maksud ibu. Ya jadilah seperti yang dilakukan si anak, memberi salam dengan “asasalamu’alaikum“, bukan memberikan daun salam.

Cerita di atas memberi pesan kepada kita tentang pentingnya membangun komunikasi dan dialog secara benar. Kita selaku orang tua hendaknya memahami perkembangan pemikiran anak kita dan juga jiwa mereka sehingga tidak terjadi kesalahan atau paling tidak meminimalisir kesalahan.   Berangkat dari ayat kisah Ibrahim dalam surat ash-Shaffat ayat 102, kita bisa mengambil pelajaran dalam membangun komunikasi dan dialog dengan anak kita, antara lain:

1. Pahami perkembangan jiwa dan pikiran anak.

Karena ada anak yang butuh penjelasan secara rinci dan kongkrit, tapi ada juga anak yang cukup dengan beberapa kata, dia sudah faham maksud kita. Jangan sampai terjadi seperti kisah daun salam di atas.

2. Landasi dengan kasih sayang dan kesantunan/kelembutan.

Jangan bicara meledak-ledak sehingga anak takut dengan kita. Bicara yang santun dan lembut sehingga anak nyaman dengan kita. Coba perhatikan surat Ash-Shaffat ayat 102 di atas.  Ibrahim AS mengawali pembicaraanya dengan panggilan “Ya Bunayya”. Beliau tidak memanggil dengan sebutan ‘ya Ibni” atau “ya Waladiy.” Ungkapan ‘bunayya’ dalam Bahasa Arab termasuk Isim Tashgir yang salah satu faedahnya adalah ungkapan yang mendiskripsikan kasih sayang.

Dalam satu hadits dari Ummul Mukminin Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda:

 إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak” (HR. Muslim)

3. Tidak memaksakan kehendak, berikan apresiasi pada anak, dengarkan pendapatnya.

Bila kita pandang anak kurang faham apa yang kita inginkan berikan arahan dan penjelasan dengan alasan-alasan yang bisa dia terima. Namun jangan juga memberikan kebebasan yang berlebihan pada anak, atau memberikan sikap permisif yang berlebihan yang akhirnya anak tidak menghormati orang tua. Yang dimaksud sikap permisif yang berlebihan adalah satu sikap yang memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak tanpa ada usaha untuk mengarahkan dan memberi bimbingan. Disinilah diperlukan kecerdasan dan kebijakan orang tua dalam berdialog pada anaknya.

4.Ciptakan kondisi yang menggembirakan.

Jangan merasa gengsi untuk bercanda dengan anak-anak. Terkadang untuk membangun dialog, agar anak terbuka dengan kita dibutuhkan candaan-candaan untuk membuat suasana nyaman dan menggembirakan. Ciptakanlah suasana dan kondisi seperti itu. Buat anak betah ketika kita bersama mereka, bukan sebalikya. Buat suasana agar anak merasa terlindungi tatkala bersama kita, bukan sebaliknya. Kita bisa contoh beberapa kisah berikut Ini:

عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدُعِينَا لِطَعَامٍ , قَالَ فَإِذَا الْحُسَيْنُ يَلْعَبُ فِي الطَّرِيقِ فَأَسْرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَامَ الْقَوْمِ  ثُمَّ بَسَطَ يَدَيْهِ فَجَعَلَ حُسَيْنٌ يَمُرُّ مَرَّةً هَهُنَا وَمَرَّةً هَهُنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ حَتَّى أَخَذَهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى يَدَيْهِ فِي ذَقْنِهِ  وَالأُخْرَى بَيْنَ  رَأْسِهِ ثُمَّ اعْتَنَقَهُ فَقَبَّلَهُ

Dari Ya’la bin Murrah ia berkata, “Kami keluar bersama Nabi lalu kami diundang untuk makan. Tiba-tiba Husain sedang bermain di jalan, maka Rasulullah segera (menghampirinya) di hadapan banyak orang. Beliau membentangkan kedua tangannya lalu anak itu lari ke sana kemari dan Nabi mencandainya agar tertawa sampai beliau (berhasil) memegangnya lalu beliau letakkan salah satu tangannya di bawah dagu anak tersebut dan yang lain di tengah-tengah kepalanya kemudian Rasulullah membebaskanya dan menciumnya,” (HR. Bukhari). 

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa rasulullah SAW bermain-main dengan anak kecil lainnya. Misalnya riwayat yang dikisahkan dari Mahmud bin Rabi’ RA:

عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ

“Aku masih ingat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa semburan air yang beliau semburkan ke wajahku. Ketika itu aku baru berusia lima tahun dan beliau mengambil air dari ember.” (HR. Bukhari)

5. Berikan pengertian kepada mereka, ada hal-hal yang bisa didialogkan dan ada yang tidak.

Misal dalam hal ibadah mahdhoh—seperti sholat dan puasa— mungkin dialog dalam menyampaikan materi ibadah dan dalam upaya untuk lebih memahami, tidak mengapa. Tetapi ketika dialog sudah mengarah kepada upaya untuk memudah-mudahkan urusan ibadah bahkan cenderung untuk mengabaikannya, maka tidak ada toleransi. Dalam arti kita kudu tegas—bukan kasar— jangan sampai karena alasan toleransi akhirnya anak kita mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya.

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَناَ فِي أَوْلَادِناَ وَلَا تَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْناَ وَاِياَهُمْ لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْناَ بِرَّهُمْ

“Ya Allah berilah barokah untuk hamba pada anak-anak hamba, janganlah Engkau timpakan marabahaya kepada mereka, berilah kami dan anak-anak kami taufik untuk taat kepada-Mu dan karuniakanlah hamba rezeki berupa bakti mereka”.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Ahmad Rusdi

Ahmad Rusdi, pernah belajar di Ma'had Fath al Islami Damaskus, guru ngaji, dan ASN Kementerian Agama RI.

Ahmad Rusdi
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x