Seksualitas dalam Islam: Antara Syahwat dan Ibadah

Ilustrasi: Freepik

Seksualitas sering dianggap sebagai topik yang tabu, terutama dalam masyarakat Muslim. Namun, Islam sebagai agama yang syamil (menyeluruh) tidak hanya mengakui eksistensi naluri seksual manusia, tetapi juga memberikan panduan yang jelas untuk menyalurkan dan mengelolanya. Dalam pandangan Islam, seksualitas bukan sekadar syahwat yang harus ditekan, melainkan juga bisa menjadi bentuk ibadah yang berpahala jika dijalankan sesuai dengan syariat.

Seksualitas: Anugerah, Bukan Aib

Syahwat atau nafsu seksual merupakan bagian dari fitrah manusia. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta…” (QS. Ali Imran: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa keinginan terhadap lawan jenis adalah bagian dari naluri alami manusia. Islam tidak pernah memandang syahwat sebagai sesuatu yang kotor atau haram secara mutlak. Yang diatur adalah cara penyalurannya.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian itu ada sedekah.”
Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang yang menyalurkan syahwatnya juga mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bukankah jika ia menyalurkannya pada yang haram, maka ia berdosa? Maka jika ia menyalurkannya pada yang halal, tentu ia mendapat pahala.”

Hadis ini menjadi bukti nyata bahwa Islam memandang hubungan seksual dalam pernikahan sebagai ibadah, bahkan bisa bernilai sedekah.

Pernikahan: Institusi Penyalur Syahwat yang Suci

Islam mendorong umatnya untuk menikah sebagai sarana sah dalam menyalurkan hasrat seksual. Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga ibadah. Seks dalam pernikahan bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis, tapi juga menciptakan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah) sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ar-Rum ayat 21.

Seksualitas Bukan Sekadar Nafsu

Dalam Islam, seksualitas tidak dipahami semata sebagai pemenuhan nafsu. Ia terikat pada nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab. Adab dalam berhubungan intim diatur sedemikian rupa — seperti mandi janabah, menjaga privasi, tidak melakukan hubungan saat istri haid (QS. Al-Baqarah: 222), hingga anjuran membaca doa sebelum berhubungan intim.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa hubungan seksual dalam pernikahan bisa mendekatkan diri kepada Allah, karena selain menjaga diri dari dosa, ia juga bagian dari kebajikan kepada pasangan. Seks yang dilakukan dengan kasih sayang, penghormatan, dan niat yang baik bisa menjadi sarana meraih ridha Allah.

Tantangan Seksualitas di Era Modern

Di tengah gempuran budaya liberal, pornografi, dan pergeseran nilai-nilai, banyak umat Muslim — terutama generasi muda — terjebak dalam pemahaman keliru tentang seksualitas. Seks dianggap hanya sebagai ekspresi bebas yang tidak terkait dengan nilai spiritual.

Islam hadir dengan solusi: mengajarkan iffah (menjaga kehormatan), menanamkan rasa malu, dan menyediakan ruang halal yaitu pernikahan yang bertanggung jawab. Namun, solusi ini juga memerlukan dukungan sosial, edukasi seks Islami yang tepat, dan pemahaman mendalam akan syariat.

Pendidikan Seks Islami: Edukasi, Bukan Eksploitasi

Pendidikan seks dalam Islam penting untuk dikenalkan sejak dini — tentu dengan cara dan tahap yang sesuai umur. Ini bukan untuk mendorong perilaku seksual, tapi untuk membekali anak dengan pengetahuan, adab, dan perlindungan dari penyimpangan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Tuhfatul Maudud menyebut bahwa orang tua wajib mengarahkan anak sejak kecil, termasuk dalam menjaga aurat, menundukkan pandangan, dan memilih lingkungan pergaulan. Pendidikan seks dalam Islam menitikberatkan pada pembinaan akhlak dan tanggung jawab, bukan sekadar aspek biologis.

Seksualitas dalam Islam bukanlah musuh iman, melainkan bagian dari fitrah yang bisa bernilai ibadah. Ketika disalurkan melalui jalur yang halal, dijalankan dengan adab, dan disertai niat ibadah, maka hubungan seksual bukan hanya memuaskan hasrat, tetapi juga menjadi amal saleh.

Dengan pemahaman yang benar, umat Islam dapat membangun peradaban yang sehat secara spiritual dan sosial, tanpa mengabaikan kebutuhan fitrahnya.

Visited 1 times, 2 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x