Mengenal Adat Pernikahan Suku Bugis yang Mulai Berubah
Setiap daerah di Indonesia mempunyai adat dan budaya pernikahan yang berbeda-beda. Begitu pun suku Bugis di Makassar. Suku ini mempunyai adat pernikahan yang khas. Konon suku Bugis saat ini terkenal sebagai salah satu suku yang memiliki adat pernikahan yang paling mahal di Indonesia.
Namun demikian, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh A. Fadhilah Utami Ilmi R. berjudul Transisi Sosial Budaya Adat Pernikahan Suku Bugis Di Makassar 1960, yang dimuat di Jurnal Wanita & Keluarga Vol. 1 (1), Juli 2020, adat perikahan tersebut telah banyak mengalami perubahan.
Pada adat pernikahan Suku Bugis dikenal dengan uang Panai’. Menurut A. Fadhilah, uang Panai’ telah menjadi simbol adat pernikahan dan sesuatu yang penting dalam pelaksanaan rangkaian acara pernikahan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tanpa uang Panai’ pernikahan Bugis tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, sebagian besar biaya pernikahan dibebankan kepada pihak laki-laki.
Lebih lanjut A. Fadillah mejelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa fungsi uang Panai’ yang diberikan kepada seorang perempuan calon pengantin secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan. Karena uang Panai’ tersebut yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan, uang Panai’ merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan pernikahan.
Sebagaimana dalam adat pernikahan di daerah lain, pada adat Suku Bugis juga ada sejumlah tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum terjadinya akad pernikahan.
Adapun tahapan yang harus dilalui tersebut diantaranya adalah Akkusisseng, Assuro dan Ammatuli. Menurut A. Fadhillah salah satu tahapan yang sangat menarik adalah Assuro. Dalam tahapan ini terjadi proses tawar-menawar mengenai Do’i menre atau doi’ Panai’ (Uang Belanja) atau yang lebih dikenal dengan istilah Uang Panai’. Uang Panai’ adalah besaran uang pinangan yang akan dipenuhi atau dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebelum melangkah ke prosesi pernikahan.
Uang Panai’ ini dalam sejarah awalnya dilakukan oleh keluarga bangsawan sebagai bentuk penghargaan terhadap anak perempuannya. Siapa pun yang akan menikah dengan perempuan bangsawan tersebut harus menyerahkan uang Panai’ sesuai dengan status sosial keluarga tersebut. Kemudian kebiasaan ini juga dilakukan oleh masyarakat biasa. Semakin tinggi Uang Panai’ semakin tinggi pula status sosial perempuan dalam masyarakat.
Masyarakat Bugis menjunjung tinggi adat istiadat yang disebut siri’ yang berarti segala sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Bugis, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata.
Orang tua akan merasa malu jika anaknya mendapat uang Panai‘ rendah. Menjunjung tinggi budaya siri’ (malu) bagi orang tua akan hal ini juga menjadikan perempuan bugis bisa di katakan dan dipandang sebagai perempuan yang Mahal (?) bagi orang-orang di luar Suku Bugis ini.
Adat pernikahan Suku Bugis dalam versi lengkapnya ada enam tahapan yang akan dilalui oleh pasangan yang yang akan menikah.
Pertama, Mammanu’manu’. Dalam tahap awal ini orang tua laki-laki mencarikan jodoh untuk anaknya. Setelah menemukan seorang gadis yang menurut pertimbangan bisa dijadikan istri bagi anaknya, langkah selanjutnya adalah menyelidiki keadaan gadis calon mempelai (mappese ‘pese ). Kegiatan ini dilakukan oleh keluarga dekat gadis tersebut untuk mengetahui bagaimana tingkah laku, kesehatan, dan sebagainya.
Kedua, Tahap Mappese’pese’. Biasanya yang melakukan kegiatan ini adalah keluarga dekat gadis untuk melihat keadaan gadis tersebut. Setelah memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro).
Ketiga, Massuro. Pada tahap ini pihak laki-laki mengutus orang yang dianggap disegani untuk mabbaja laleng (merintis jalan). Jika pihak perempuan belum merasa puas dengan acara peminangan, mereka akan menelusuri lebih jauh tentang asal usul laki-laki (mattutung lampe). Setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pihak lakilaki telah diterima dengan baik oleh pihak orang tua perempuan maka ditentukanlah acara mappettu ada (memutuskan segala keperluan pernikahan).
Keempat. Mappettu Ada. Tahap ini membicarakan tanra esso (penentuan hari pernikahan), doi menre (uang belanja), dan sompa (mahar). Tanra esso mempertimbangkan waktu-waktu yang luang bagi keluarga. Biasanya yang paling menentukan hari pernikahan adalah dari pihak perempuan, sementara pihak laki-laki mengikuti.
Kelima. Mappaere Botting. Tahap ini merupakan acara prosesi puncak perkawinan, mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan.
Keenam. Mapparola. Pada tahap ini, mempelai perempuan diantar oleh keluarga dan sanak saudaranya ke rumah keluarga laki-laki. Tahap ini dilaksanakan setelah akad nikah atau keesokan harinya dengan pakaian seperti pakaian pada hari pernikahan. Pihak keluarga laki-laki akan memberikan sesuatu/hadiah kepada mempelai perempuan sebagai tanda syukur (mappaota).
Adat pernikahan tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Suku Bugis. Meskipun demikian, ada perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Misalnya acara resepsi pernikahan yang dilaksanakan oleh masing-masing mempelai yaitu mengadakan acara di rumah ke dua belah pihak (perempuan dan laki-laki) sekarang hanya dilaksanakan sekali yang biasanya dilakukan di gedung.
Menurut A. Fadhillah perubahan, terutama di kota, tersebut dipengaruhi, paling tidak, oleh tiga faktor: pemahaman agama, pendidikan dan perubahan zaman.
Demikian adat pernikahan yang ada di Suku Bugis yang mulai mengalami perubahan seiring terjadinya perubahan zaman.***