Dari Mimpi Indah ke Realita: Menaklukkan Tantangan Tahun Pertama Pernikahan

Ilustrasi: Googleaistudio

Tiga bulan setelah janji suci mereka terucap, Afra menemukan sebuah struk pembelian konsol gim terbaru di saku celana Ahsan, suaminya. Angkanya cukup fantastis, setara dengan hampir separuh dana darurat yang baru mereka rintis bersama. Malam itu, rumah kontrakan kecil mereka yang biasanya penuh tawa, mendadak senyap. Ini bukan lagi tentang gim; ini tentang janji, prioritas, dan rasa percaya. Inilah titik awal di mana Afra dan Ahsan sadar, bahwa perjalanan setelah “dan mereka hidup bahagia selamanya” ternyata memiliki medannya sendiri yang terjal. Selamat datang di tantangan tahun pertama pernikahan.

Kisah Afra dan Ahsan bukanlah cerita tanpa fakta. Banyak pasangan memasuki gerbang pernikahan dengan ekspektasi setinggi langit, namun lupa mempersiapkan parasut untuk menghadapi turbulensi. Realitasnya, tahun pertama adalah periode adaptasi paling intens. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 bahkan mengonfirmasi bahwa persentase perceraian yang signifikan terjadi pada lima tahun pertama usia pernikahan, menjadikan fase awal ini sebagai ujian krusial.

Bagi Afra yang seorang perencana keuangan ulung, pembelian impulsif Ahsan adalah sebuah pengkhianatan terhadap komitmen finansial mereka. Bagi Ahsan, yang terbiasa memanjakan diri setelah bekerja keras, permintaan izin untuk memakai “uangnya sendiri” terasa seperti sebuah pengekangan. Pertengkaran hebat pun tak terhindarkan. Malam itu, mereka belajar pelajaran pertama: konsep “uangku” dan “uangmu” telah mati di hari pernikahan mereka. Yang ada kini adalah “uang kita”.

Solusinya tidak datang dalam semalam. Mereka menghabiskan akhir pekan bukan untuk berkencan, melainkan untuk duduk dengan laptop terbuka, mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Mereka membuat rekening bersama untuk kebutuhan rumah tangga, menyisihkan anggaran tetap untuk tabungan dan investasi, dan yang terpenting, menyepakati “dana hiburan pribadi” untuk masing-masing. Sebuah pos anggaran kecil yang memberikan kebebasan tanpa mengorbankan tujuan bersama.

Badai berikutnya datang beberapa bulan kemudian, saat ibu Ahsan datang berkunjung. Dengan niat baik, sang mertua mulai menata ulang dapur Afra, memberikan komentar tentang masakannya, dan bertanya kapan mereka akan memberinya cucu. Afra merasa wilayahnya diinvasi, sementara Ahsan terjebak di tengah-tengah, tak tahu harus membela siapa. Keheningan Ahsan diartikan Afra sebagai ketidakpedulian.

Konflik ini membuka luka yang lebih dalam: komunikasi dan batasan. Mereka menyadari bahwa mereka belum pernah benar-benar mendiskusikan bagaimana cara menghadapi keluarga besar. Setelah malam panjang penuh air mata dan diskusi jujur, mereka membuat sebuah pakta. Ahsan akan menjadi “juru bicara” utama untuk keluarganya, dan Afra untuk keluarganya. Mereka belajar berkata, “Terima kasih atas masukannya, Bu. Nanti kami diskusikan berdua, ya,” sebuah kalimat sederhana yang menciptakan benteng pelindung di sekeliling unit keluarga baru mereka.

Seiring berjalannya waktu, riak-riak kecil terus muncul. Kebiasaan Ahsan meletakkan handuk basah di kasur, cara Afra memencet pasta gigi dari tengah, hingga perbedaan jam tidur. Semua hal sepele ini, jika menumpuk, terasa seperti serpihan kaca dalam sepatu. Keintiman pun mulai tergerus, tergantikan oleh rasa lelah dan jengkel.

Mereka hampir menyerah pada rutinitas yang membosankan, sampai suatu malam Afra mengusulkan sebuah ide: “Bagaimana jika setiap hari Jumat kita kencan, tapi di rumah? Kita masak bareng, nonton film tanpa ponsel.” Ahsan setuju. Ritual sederhana itu menjadi penyelamat. Mereka mulai menertawakan kebiasaan aneh satu sama lain, bukan lagi memperdebatkannya. Mereka menemukan kembali koneksi emosional yang menjadi bahan bakar keintiman fisik mereka.

Di penghujung tahun pertama mereka, Afra dan Ahsan melihat kembali perjalanan mereka. Itu bukanlah tahun yang sempurna, ada banyak air mata dan pintu yang dibanting. Namun, ada lebih banyak lagi pelukan rekonsiliasi, pelajaran berharga, dan fondasi yang kini jauh lebih kokoh. Mereka mengerti makna mendalam di balik kutipan psikolog hubungan, Dr. John Gottman, “Pernikahan hebat tidak dilahirkan, tetapi dibangun.”

Tantangan tahun pertama pernikahan bukanlah sebuah tanda bahwa Anda salah memilih pasangan. Sebaliknya, itu adalah sebuah undangan untuk membangun sesuatu yang luar biasa bersama-sama, bata demi bata, dari puing-puing ekspektasi yang runtuh, menjadi sebuah rumah tangga yang tangguh dan penuh cinta.(*)   


Visited 1 times, 1 visit(s) today
0 0 votes
Article Rating

admin

Admin qobiltu bisa dihubungi di e-mail qobiltu.co@gmail.com

admin
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x