Izin Menikah
Pada Ahad pagi (24/08/2019), saya menghadiri akad nikah puteri dari mantan Kepala Desa Losarilor, Losari, Cirebon, Moch. Moh Sofwan Soffa. Hadir di situ KH. Subhan Ma’mun Luwungragi Brebes, KH. Jawahir Tanthowi Losari Brebes, KH. Abdullah Masduqi Losari Cirebon, KH. Muiz Sahal Losari Cirebon, dan kyai-kyai Losari lainnya.
Oleh shahibul hajat, saya diminta untuk isi khutbah nikah. Karena yang meminta teman baik Almaghfurlah Abah saya, saya tidak bisa menolaknya. Memenuhinya adalah bagian dari birrul walidayn (bakti saya kepada orang tua). Shahibul hajat pesen, “Mas, khutbahnya jangan Arab semua ya, tolong diberi bahasa Indonesia agar hadirin dan hadirat bisa memahami
Yang ingin saya tulis di sini bukan isi khutbah nikah yang saya sampaikan, tapi tradisi sebelum akad nikah yang tadi kita saksikan bersama. Tidak terlalu umum, tapi sering dijalankan, sebelum akad nikah calon mempelai puteri meminta izin (isti’dzan) kepada walinya untuk dinikahkan dengan calon mempelai putera pilihannya. Kebetulan mereka menemukan jodohnya memang atas pilihan sendiri, bukan dijodohkan.
Di beberapa tempat, permintaan izin seperti ini biasanya menjadi ajang tangisan anak dan ayahnya, hingga mengharubirukan majelis akad. Menyaksikan ini, Uwa saya, KH Abdullah Masduqi, alumni Pesantren Lirboyo Kediri ini, langsung ‘protes’ pada KH Muiz Sahal, Rais Syuriyah MWC NU Losari Cirebon. “Kenapa anak perempuan yang minta izin kepada walinya untuk dinikahkan? Bukankah dalam hadits sebaliknya, yakni wali yang seharusnya minta izin kepada anak gadisnya yang hendak dinikahkan.
Beliau pun menyebut suatu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sayyidina Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوْهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا.
“Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Sedangkan gadis, ayahnya meminta izin kepadanya untuk menikahkan dirinya, dan izinnya adalah diamnya.
”Lebih tegas lagi hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah ra:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ.
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya, dan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta izinnya.”
Menjawab ‘protes’ Uwa saya yang memang kritis dan pinter ini, saya bilang: “Lho, bukannya bagus tradisi ini. Anak perempuan meminta izin (isti’dzan), tepatnya meminta walinya untuk menikahkannya dengan lelaki pujaannya. Ini kan berarti keputusan untuk menikah ada pada anak perempuan. Dialah yang memiliki otoritas untuk menikah atau tidak, atau hendak menikah dengan siapa. Walinya, yakni ayahnya, diminta olehnya untuk menikahkan dirinya dengan lelaki pilihannya.
Menurut saya, ini tradisi yang kereen sekali: anak perempuan memegang otoritas untuk menikah, sementara wali pihak yang diminta untuk menikahkannya. Meskipun saya tahu ini pada umumnya hanya formalitas saja, karena hakekatnya sudah diselesaikan di balik panggung sebelum akad nikah, tapi tradisi ini menunjukkan penghargaan yang tinggi pada perempuan.”
Berbeda dengan konstruksi hadits di atas yang dipengaruhi oleh tradisi Arab saat itu, di mana wali lah –yang semuanya berjenis kelamin laki-laki– pemegang otoritas untuk menikahkah anak gadisnya. Akan tetapi, Nabi SAW mengajarkan harus minta izin dulu kepada anak gadis yang hendak dinikahkan (yasta’dzinuha) sebelum menikahkannya. Tepatnya, wali meminta persetujuannya.
Nah, apa makna isti’dzan dan persetujuan ini? Apakah ini hanya hukum formal yang harus dilalui ataukah justru ini substansi (hukum materiil) yang menentukan? Jika kita memahaminya sebagai hukum formal, maka isti’dzan dan persetujuan harus dilalui oleh setiap wali yang hendak menikahkan anak gadisnya.
Timbul soal, bagaimana jika sang gadis tidak menyetujui dan tidak mau untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang dipersiapkan ayahnya? Apakah wali tetap dibolehkan menikahkan anak gadis yang menolak dan nikahnya dihukumi sah, ataukah wali dilarang menikahkannya, dan jika tetap dinikahkan, maka hukum nikahnya batal?
Menurut Imam Syafi’i, tanpa izin dan persetujuan anak gadis yang hendak dinikahkan, nikahnya batal, kecuali ayah kepada anaknya. Karena Nabi SAW pernah menolak pernikahan Khansa’ binti Khadzdzam ketika ayahnya menikahkannya dalam keadaan terpaksa tanpa persetujuannya.
Dalam kitab Zad al-Ma‘ad, Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih tegas lagi berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan anak gadis ketika akan menikahkannya. Hukum ini juga melarang pemaksaan terhadap gadis yang sudah dewasa untuk dinikahkan, dan larangan menikahkan gadis kecuali atas persetujuannya.
Pendapat yang terakhir ini memahami isti’dzan dan persetujuan anak gadis sebagai hukum materiil, yakni persetujuan menjadi keharusan. Tanpa persetujuannya, pernikahan tidak sah.
Walhasil, tradisi sebelum akad nikah di mana anak gadis meminta kepada walinya untuk menikahkan dirinya dengan lelaki pilihannya atau wali meminta izin dan persetujuan anak gadisnya untuk dinikahkan dengan lelaki pilihannya adalah sesuatu yang baik dalam konteks pemanusiaan perempuan, dan memosisikan perempuan sebagai subjek.
Intinya, keputusan nikah atau tidak, dan menikah dengan siapa berada pada izin dan persetujuan anak perempuan yang akan menjalani kehidupan rumah tangga pasca akad nikah. ()
- Izin Menikah - 16/09/2019