Kisah Pak Min, Pedagang Sayur Yang Sukses

Keluarga Pak Min (Sumber Foto: koleksi keluarga)

Ketika banyak orang sedang tidur nyenyak di kasurnya, sekitar jam 11 malam ia bangun menengadahkan tangan memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk dimudahkan segala urusannya, melakukan shalat tahajud. Mengenakan jaket, naik ojeg dan belanja sayuran ke Pasar Induk untuk dijual kembali di Pasar Minggu.

Namun sejak tahun 2021, jadwal ke pasar induk ia ubah, dari malam ke sore. Setiap pukul empat sore atau ba’da shalat Ashar ia mengendari motor sendiri ke pasar Induk untuk membeli barang-barang akan dijualnya di Pasar Minggu, seperti wortel, bawang merah, kol, tomat, cabe dan lainnya.

Ia tidak mengenal kondisi. Meskipun hujan petir melanda, ia tetap berangkat menjalankan profesinya sebagai pedagang sayuran. Begitupun istrinya, ia tidak mau membiarkan suaminya membanting tulang memeras keringat sendiri. Sekitar jam tiga dini hari, sang istri menyusul ke pasar untuk membantu suaminya berjualan. Dengan iringan untaian do’a dan ruku sujud shalat tahajud yang ia jalankan sebelumnya, ia mengambil kunci motor bebeknya dan menstaternya menuju pasar. Sepi dan gelapnya malam ia terjang.

Pak Min (51 Th), begitu para tetangga dan orang yang mengenalnya memanggilnya. Nama lengkapnya Simin. Nama yang sukup singkat dan pendek, tapi tidak sesingkat pikiran dan langkahnya. Ia berasal dari Boyolali, salahsatu Kabupaten di Jawa Tengah.

Ketika Qobiltu berkunjung ke Rumahnya di Balekambang, salahsatu kelurahan di Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur, ia yang didampingi Kalinem, istrinya, bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya. Dari awal belajar kerja sampai berhasil ke titik ini. Kami berbincang santai di teras rumah tingkatnya.

Ia adalah lulusan STM Mesin di Boyolali. Tamat dari sekolah teknik tersebut, Simin remaja mencari pekerjaan di kota kelahirannya. Ia melamar di beberapa perusahaan. Ia sempat bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perbatikan. Tetapi setelah melihat perkembangan temannya yang bekerja di perusahaan itu tidak begitu bagus, ia memutuskan berhenti dan memilih untuk merantau ke Jakarta yang dinilainya lebih menjanjikan untuk masa depannya.

“Awal bekerja di Jakarta saya sebagai tukang las”, begitu kata Pak Min memulai. Ia menjadi tukang las pada pembangunan sebuah Rumas Sakit.

“Siang menjadi tukang las, malamnya saya belajar berjualan sayur di pasar.” Kata Pak Min menjelaskan awal mula ia bekerja di Jakarta. Ia belajar berdagang sayuran kepada seorang yang sudah lebih dulu berjualan. Ia menyebutnya “Bos saya”.

“Saya ‘IM'” Kata dia.

“Apa itu IM?”. Tanya saya.

“Ingin Mandiri.” Jawab Pak Min, sambil tersenyum.

Selesai proyek pembangunan, ia tidak meneruskan pekerjaannya sebagai tukang las. Ia memilih berjualan sayuran di Pasar Minggu.

“Awal saya berjualan sayuran, sekitar tahun 90-an, di depan Polsek Pasar Minggu. Dulu belum ada yang jualan sayuran di Robinson.” Kata Pak Min bercerita awal mula berjualan sayuran di Pasar Minggu.

Ia sempat berpindah-pindah kontrakan. dari Rindam, pinggir rel kereta api sekarang digusur Sapol PP dan pinggir kali Ciliwung.

Waktu itu, Pak Min masih single. Penghasilan dari berjualan sayuran sedikit-demi sedikit, atas saran orang tua, ia tabung.

“Saya menabung dengan membeli sapi. Dipelihara di Kampung. Makin hari sapi makin banyak, akhirnya dijual untuk membeli rumah di Solo.” Kata pak Min. Sebelum membeli sapi, pak Min terlebih dahulu membeli sepeda motor. “Namanya motor BRAVO.” Kata Pak Min melanjutkan.

Ketika sibuk berjualan, Simin muda bertemu dengan seorang gadis yang memikat hatinya asal Boyolali, namanya Kalinem. Ia juga sedang belajar berjualan di Pasar Minggu. Bagaikan mur bertemu dengan baut. Keduanya saling menaruh hati, saling jatuh cinta. Tidak menunggu lama, hanya sekitar empat bulan, mereka memutuskan untuk menikah, membangun mahligai rumah tangga.

Di awal pernikahannya sekitar tahun ’96, pasangan muda ini tinggal di pinggir kali Ciliwung. Mereka mengontrak satu kamar dengan harga 700ribu setahun. Waktu itu, anak pertama lahir di Solo. Sekitar setahun kemudian, anaknya diajak ke Jakarta. Mereka hidup bertiga di kontrakan pinggir kali Ciliwung.

Dalam perjalanan waktu, pasangan muda ini berhasil membeli rumah di Condet Balekambang. Tadinya mengontrak rumah di pinggir Ciliwung yang selalu dihantui kekhawatiran terkena banjir ketika musim hujan, kini pasangan ini bisa bernafas lega, mereka terbebas dari bahaya banjir. Tidak hanya itu, rumahnya kini berhasil ditingkat.

Di rumah Condet inilah mereka hidup bahagia bersama dua anaknya. Anak pertama, Budi Utomo, setelah lulus dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta), ia bekerja di sebuah perusahaan Swasta. Semasa kuliahnya, ia mendapat beasiswa Bidikmisi. Bahkan semasa SMA ia juga mendapat beasiswa.

Anak kedua, Ikhsanuddin, sedang kuliah di UNPAD. Universitas Negeri ternama di Bandung. Tidak banyak orang bisa kuliah di Universitas favorit ini. Ia juga mendapat beasiswa Bidikmisi dari pemerintah. Sehingga orang tua tidak pusing memikirkan biaya kuliah. Bahkan selama kuliah, ia mendapat bantuan biaya untuk pembelian buku dan keperluan kuliah lainnya.

Ketika saya tanya, apa resepnya agar hidup sukses dan anak-anak berhasil dalam pendidikannya. Ia menjawab:

“Mendawamkan membaca istighfar, shalat Tahajud, shalat Dhuha dan membaca al-Qur’an, khususnya Surat Al-Hasyr [59] dan membaca Asmaul Husna pagi dan sore.” Ia menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu berdasar petunjuk para guru, ustadz, habib di berbagai pengajian yang rajin ia ikuti.

Keluarga Pak Min (Sumber Foto: koleksi keluarga)

Ketika saya tanya bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi dalam usaha dan keluarga. Ia menjawab “untuk masalah usaha kami menjalaninya dengan sabar dan menerimanya. Karena orang lain juga sama terdampak.”

“Kalau masalah keluarga?.” Tanya saya. “Saya hanya bisa pasrah dan berdo’a, semoga diberikan kesabaran dan keihlasan.” Jawabnya.

Ketika saya tanya bagaimana membagi tugas pekerjaan rumah tangga. Mereka menjawab, sama-sama saja. “Saya kalau pagi memasak. Pak Min menyapu dan mengepel. Saya juga kalau lagi mau menyapu dan mengepel.” Kata istrinya.

Hal lain yang perlu diangkat dari Pak Min ini adalah sifat kedisiplinannya yang luar biasa. Ia bisa membagi waktu sedemikian rupa sehingga bisa mengerjakan sejumlah pekerjaan dalam waktu yang berdekatan. Di malam hari ia berjualan di pasar, pagi hari membersihkan rumah, mencuci kendaraan dan lainnya, agak siang beristirahat, bersosialisasi dengan tetangga, mengaji, shalat maghrib dan menghadiri undangan tetangga. Begtulah kegiatan rutinnya yang ia jalani dengan disiplin yang ketat.

Salah satu keberhasilan Pak Min lainnya adalah di bidang keagamaan. Ia rutin melakukan kurban di musim haji. Ia bercerita untuk berkurban ia setiap habis pulang kerja ia menyisihkan uang khusus untuk berkurban. Sehingga ketika waktu Hari Raya Idul Adha tiba ia sudah siap untuk berkurban. Selain itu, ia juga rajin menyumbang kegiatan keagamaan, seperti maulid dan pembangunan masjid.

Ia dan istrinya juga sudah mendaftar untuk menjadi jama’ah haji. Ia sudah mendapat porsi, tinggal menunggu giliran berangkat saja untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji.

Keberhasilan Pak Min dalam berusaha dan berumah tangga tidak lepas dari dukungan dan do’a dari sang istri. Karenanya, kalimat ini tepat ditujukan kepada mereka. “Dibalik Kesuksesan Suami, Ada Istri Yang Hebat.”***

Maman Abdurahman
Follow me
5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Maman Abdurahman

Meneliti dan menulis masalah perkawinan dan keluarga. Sekali-kali menulis cerpen dan puisi.

Maman Abdurahman
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x