Pandangan Islam tentang Childfree

Ilustrasi: freepik

Perbincangan tentang childfree atau sikap untuk tidak mempunyai anak ramai di masyarakat belakangan ini. Hal ini dipicu oleh pernyataan seorang publik figur yang menyampaikan sikapnya untuk memilih tidak mempunyai anak dalam pernikahannya.

Pro-kontra di masyarakat pun tidak terhindarkan. Nyaris semua media memuat tulisan tentang childfree dengan berbagai cara pandang. Secara umum lebih banyak yang menolak pandangan atau sikap childfree ini.

International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996 menetapkan bahwa  untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak adalah hak setiap orang. Dan merupakan bagian dari 12 hak-hak reproduksi yang harus dipenuhi.   

Sementara itu, pandangan atau sikap tertentu akan terkena hukum ketika sudah mewujud dalam suatu tindakan. Keputusan untuk tidak mempunyai anak misalnya diikuti dengan penggunaan kontrasepsi, baik alami maupun modern. Seperti azl (persenggamaan terputus) dan tubektomi/vasektomi. Maka praktik itulah yang akan dihukumi.       

Karena itu, mari kita lihat pandangan para ulama tentang hukum adz dalam Islam. Menurut Syafiq Hasyim dalam sebuah tulisannya di buku “Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan,  Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda” ada lima pendapat para ulama fikih dari lima mazhab tentang hukum azl.

Pertama, Mazhab Hanafi, dalam hal ini diwakili oleh Imam al-Kasani, menyatakan bahwa hukum azl adalah makruh dilakukan oleh seorang suami kalau tidak disertai izin dari istrinya.     

Kedua, Mazhab Maliki, dalam hal ini Imam Malik sendiri dalam kitabnya al-Muwattha menyatakan bahwa seorang suami tidak memiliki hak untuk melakukan azl tanpa disertai izin dari istrinya.  

Ketiga, Mazhab Syafi’I, dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa melakukan hubungan seksual dimana sebelum ejakulasi seorang suami mencabut penisnya dan kemudian proses ejakulasi tersebut dilakukan di luar vagina istri, hukumnya adalah makruh.

Keempat, mazhab Hambali dalam hal ini Ibnu Qudamah menyatakan bahwa mempraktikan azl tanpa alasan apapun adalah makruh, akan tetapi tidak diharamkan. Ibnu Qudamah menganjurkan agar azl tidak dilakukan dengan istri yang belum punya anak kecuali dengan izinnya.   

Kelima, mazhab Ja’fari, salah satu mazhab fikih dari kalangan Syiah, berpendapat bahwa azl dengan istri yang belum punya anak tidak dihalalkan kecuali dengan izinnya.   

Lalu siapa yang berhak memutuskan mempunyai anak atau tidak? Para ulama pun berbeda pendapat.

Menurut buku “Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan” karya KH. Masdar F. Masudi,  ada empat pendapat para ulama menyikapi masalah ini.  

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i  mengatakan bahwa yang berhak memutuskan untuk punya anak (lagi) atau tidak adalah suami atau ayah. Konsekuensinya, jika suami menghendaki anak, istri tidak berhak apa-apa selain menuruti kemauannya. Dasarnya adalah ayat al-Quran Surat al-Baqarah ayat 233 yang menyebut anak sebagai milik ayah.  “…dan wajib atas si ayah sebagai empunya anak…”.

Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh ulama Hanafiyah mengatakan bahwa yang berhak menentukan apakah akan punya anak atau tidak adalah keduanya, suami dan istri. Dasarnya adalah bahwa soal anak tidak mungkin terwujud tanpa keterlibatan kedua pihak.

Ketiga, untuk menentukan keturunan bukan hanya hak suami-istri, melainkan juga masyarakat  dengan penekanan pada keputusan kedua orang tua. Kalangan ulama Hambali dan sebagian ulama Syafi’iyah menganut pendapat ini. Artinya, kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami-istri untuk menentukan apakah akan punya anak atau tidak.      

Keempat, yang banyak dianut oleh ahli hadis, mirip dengan pendapat ketiga tapi dengan titik berat pada pertimbangan kemaslahatan umat atau masyarakat. Artinya, meskipun pasangan suami istri menghendaki atau tidak menghendaki anak akan tetapi kemaslahatan umum menghendaki lain, maka yang harus dimenangkan adalah kemaslahatan umum itu.

Demikian berbagai pandangan ulama fikih tentang hukum yang terkait dengan keputusan untuk memiliki anak atau tidak (childfree).***

Maman Abdurahman
Follow me
5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 2 visit(s) today

Maman Abdurahman

Meneliti dan menulis masalah perkawinan dan keluarga. Sekali-kali menulis cerpen dan puisi.

Maman Abdurahman
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x