Prinsip-Prinsip Relasi Kehidupan dalam Islam

Dalam kehidupan sosial, relasi antarmanusia adalah hal yang tak terhindarkan. Islam, sebagai agama yang menempatkan kemanusiaan dan ketuhanan secara berdampingan, memiliki prinsip-prinsip umum yang mengatur interaksi ini. Salah satunya tercermin dalam kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah karya Kang Faqihuddin Abdul Kodir yang kerap menjadi rujukan dalam kajian akhlak dan relasi sosial dalam Islam. Lewat kitab ini, kita diajak untuk memahami bahwa fondasi utama dalam relasi kehidupan adalah akhlak mulia yang berpijak pada nilai-nilai teosentris (berpusat kepada Tuhan) dan antroposentris (berpusat kepada manusia).
Hadis Nabi: Deklarasi Kemanusiaan Sejak 14 Abad Silam
Di awal pembahasannya, Kang Faqihuddin mengutip hadis riwayat Imam Muslim tentang pentingnya memperlakukan sesama muslim sebagai saudara. Dalam hadis tersebut Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak meremehkannya. Takwa itu ada di sini (sambil menunjuk ke dada). Cukuplah seseorang dianggap buruk jika merendahkan saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan seorang muslim adalah haram (tidak boleh dilanggar) oleh muslim lainnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan sekadar pesan moral biasa. Jika dicermati, ia sesungguhnya adalah bentuk deklarasi hak asasi manusia (HAM) versi Nabi Muhammad jauh sebelum lahirnya Deklarasi Universal HAM oleh PBB di abad ke-20. Betapa tidak? Di dalamnya tercantum tiga hak mendasar yang wajib dilindungi: hak hidup, hak memiliki harta, dan hak atas kehormatan. Islam sejak awal telah mengatur bahwa seseorang tidak boleh dizalimi, baik fisik, harta, maupun martabatnya.
Akhlak Mulia: Pondasi Interaksi Sosial
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juga menekankan bahwa seorang muslim tidak boleh menzalimi, merendahkan, apalagi membiarkan saudaranya ditindas. Prinsip ini, bila diperluas, berlaku bukan hanya untuk sesama muslim, tetapi juga dalam relasi sosial secara umum, kepada siapa pun, tanpa memandang agama, suku, atau status sosial.
Bahkan dalam pandangan KH. Afifuddin Muhajir, kebebasan dalam Islam pun memiliki batasan. Kebebasan itu harus tetap menjaga martabat manusia, tidak mengganggu hak orang lain, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan universal. Inilah keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial yang menjadi karakter khas ajaran Islam.
Muslim adalah Pembawa Kedamaian
Menariknya, Kang Faqihuddin menjelaskan bahwa secara morfologis, kata Muslim berasal dari kata al-Salam yang berarti kedamaian. Jadi, seseorang baru layak disebut muslim sejati apabila keberadaannya membawa rasa damai bagi orang lain, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Nabi SAW sendiri bersabda:
“Muslim adalah orang yang membuat orang lain merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, siapapun yang suka menyakiti orang lain, apalagi menindas yang lemah, sejatinya telah menyimpang dari makna hakiki seorang muslim. Klaim keislaman seseorang tidak hanya diukur dari ritual ibadah, tetapi juga dari perilaku sosialnya.
Kesetaraan Gender dalam Relasi Sosial Islam
Hal lain yang patut diapresiasi adalah bagaimana syariat Islam menyapa lelaki dan perempuan secara setara. Dalam bahasa Arab, kata al-Muslim memang secara denotatif berarti lelaki muslim, namun secara maknawi juga mencakup perempuan muslim. Para ulama ushul fiqh menjelaskan bahwa jika sebuah teks syariat tidak secara spesifik menunjuk gender, maka hukum atau pesan yang terkandung di dalamnya berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Artinya, prinsip-prinsip dalam hadis tadi berlaku universal: setiap orang — lelaki ataupun perempuan — berhak diperlakukan dengan mulia, dihormati hak-haknya, dan dijauhkan dari kezaliman.
Larangan Berbuat Kerusakan, Kapan dan di Mana Saja
Hadis lain yang dikutip Kang Faqihuddin memperkuat pesan tersebut:
“Tidak boleh melakukan mafsadat (kerusakan) pada diri sendiri maupun kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadis ini, dua kata penting yakni ḍarar dan ḍirār meskipun berbeda bentuk, namun keduanya bermakna larangan melakukan tindakan destruktif. Baik itu kerusakan yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan sekitar.
Dalam ilmu ushul fiqh, larangan ini bersifat umum (universal) karena kata ḍarar dan ḍirār yang digunakan adalah dalam bentuk nakirah dan dalam konteks kalimat negasi. Artinya, siapapun, kapanpun, dan dimanapun tidak boleh berbuat kerusakan. Baik kepada sesama manusia, sesama makhluk hidup, hingga lingkungan alam sekalipun.
Penutup: Islam sebagai Agama Kemanusiaan dan Kedamaian
Dari ngaji kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah ini, kita belajar bahwa prinsip umum dalam relasi kehidupan menurut Islam adalah akhlak mulia: saling menghormati, menjaga hak orang lain, menebar kedamaian, dan menjauhkan diri dari segala bentuk kerusakan.
Nilai-nilai ini sejalan dengan konsep kemanusiaan universal. Islam tak hanya bicara soal hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama manusia dan seluruh makhluk di muka bumi. Akhlak menjadi ukuran sejati kualitas keislaman seseorang. Semakin mulia akhlaknya, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah SWT dan di mata manusia.
Karena pada akhirnya, Islam adalah agama kedamaian — bagi siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.()
Sumber: https://mubadalah.id/
- Menjaga Kesehatan Mental Ibu Rumah Tangga - 28/10/2025
- Inilah10 Kebiasaan Kecil yang Membuat Pernikahan Langgeng - 27/10/2025
- 10 Cara Efektif Menghadapi Tantrum Balita - 22/10/2025
