Kontroversi Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Perbincangan mengenai pernikahan beda agama menghangat kembali belakangan ini. Pemicunya adalah adanya seorang perempuan berbusana muslimah menikah di gereja. Sontak saja kejadian ini viral dan menjadi perbincangan serta perdebatan yang sengit di dunia maya tentang hukum perkawinan tersebut.
Perbedaan pandangan masyarakat tentang hukum pernikahan beda agama tersebut sesungguhnya cerminan perbedaan pandangan para ulama dalam menyikapi pernikahan beda agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah menentukan sikapnya bahwa hukum perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Termasuk perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Sebagaimana tertuang pada FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA.
Meskipun demikian, sesungguhnya para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan beda agama. Perbedaan pandangan para ulama tentang pernikahan beda agama ini disebabkan oleh perbedaan penafsiran pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan beberapa ayat lainnya seperti pada QS. Al-Maidah [5]: 5 dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10.
Dari ketiga ayat tersebut, paling tidak, ada tiga jenis pernikahan yang mendapat sorotan. Yaitu pertama, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik. Kedua, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab. Dan ketiga, pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Pertama, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik.
Hukum pernikahan model pertama ini mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Kata “musyrik” pada ayat ini menjadi salahsatu pangkal perbedaan pandangan para ulama tafsir. Misalnya Imam Ibn Jarir Ath-Thabari dalam “Tafsir Ath-Thabari” sebagaimana dirujuk dan didukung oleh Muhammad Abduh-Rasyid Ridha dalam tafsirnya “Al-Manar” mengatakan bahwa kata “musyrik” pada ayat ini berarti khusus yaitu orang-orang musyrik yang ada di Arab yang tidak memiliki kitab suci. Musyrik yang di luar Arab tidak termasuk dalam pengertian ayat ini.
Tetapi mayoritas ulama, termasuk imam-imam mazhab empat, berpendapat bahwa perempuan musyrik, apa pun agama, kepercayaan dan rasnya, haram dinikahi oleh laki-laki Muslim.
Kedua, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab.
Hukum pernikahan ini mengacu pada QS. Al-Maidah [5]: 5 yang artinya berbunyi begini:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Mayoritas ulama menafsirkan ayat ini terkait dengan “Perempuan Ahli Kitab” adalah perempuan yang percaya terhadap agama samawi, seperti orang Yahudi atau Nasrani. Ahli Kitab adalah para pemegang kitab Taurat dan Injil. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab di sini, adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani (Kristen), baik dzimmi maupun harbi sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya “al-Fiqhu wa adilatuhu”.
Namun, beberapa ulama berpendapat bahwa yang halal dinikahi hanyalah yang dzimmi, sedang yang harbi hukumnya haram. Ulama tersebut adalah Abdullah ibn Abbas dari kalangan sahabat, dan didukung Dr. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dari kalangan ulama kontemporer. Begitu menurut temuan Zainul Mu’ien Husni dalam jurnal Turos Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015
Alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang mengharamkan perempuan ahli kitab: Yahudi dan Nasrani adalah bahwa doktrin teologis kedua agama tersebut mengandung unsur-unsur syirik (politeisme). Hal ini karena Nabi Uzair dalam teologi Yahudi dan Nabi Isa a.s dalam teologi Nasrani masing-masing diposisikan sebagai anak Tuhan.
Ketiga, Pernikahan Perempuan Muslim dengan non-Muslim
Hukum pernikahan jenis ini mengacu pada QS. Al-Mumtahanah [60]: 10.
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.“
Dengan penjelasan ayat ini, mayoritas ulama mengharamkan pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim.
Meskipun demikian, ada sejumlah ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslimah dengan laki-laki non-muslim. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan.
Pertama, kata musyrik pada al-Baqarah [2] :221 dimaknai terbatas pada kaum musyrikin Arab yang hidup pada masa Nabi saw. Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir al-Thabari, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Kedua, mengacu pada QS. A-Maidah [5]: 5, mereka berpendapat, jika Allah Swt, membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, maka kebolehan itu mesti dipahami sebaliknya juga (mafhum mukholafah) bahwa perempuan muslimah juga diperbolehkan menikah dengan laki-laki ahli kitab.
Ketiga, kata “ahli kitab” dalam QS. QS. A-Maidah [5]: 5 ditafsiri lebih luas. Tidak hanya Yahudi dan Nasrani tetapi agama lainnya seperti Majusi, Sabi’in, Hindu, Budha, Konfusius, Shinto, dan agama-agama lainnya. Dengan demikian, semua penganut agama yang ada di dunia ini pada umumnya boleh dinikahi dan menikah dengan orang Islam.
Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama tentang hukum pernikahan beda agama di atas, hadis di bawah ini baik juga untuk menjadi pertimbangan di dalam memilih pasangan hidup.
Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah masalah agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat.” (HR. Bukhari Muslim).
Demikian berbagai pandangan ulama tentang hukum pernikahan beda agama. Semoga perbedaan pandangan ini memicu kita untuk terpacu menggali Islam lebih dalam lagi dan menghargai berbagai dinamika yang terjadi. Wallahu a’lam Bishawab. (MA)***