Berdandan bagi Perempuan Bersuami…Kenapa Tidak? (Seri Kajian Fikih Keluarga Muslim)
Pagi ini saya baru saja selesai mengepel dan membersihkan rumah. Kulihat abang keliling yang biasa berjualan sayur di sudut komplek belum datang. Tapi sudah ramai para ibu rumah tangga menunggunya dengan sabar. Saya ambil jilbab yang terletak di ujung kursi dan blus langsung terpakai dengan kaos dan celana panjangku dan tentu dalam kondisi ini adalah wajah asli yang tak ada polesan apapun mampir di wajahku.
Tak berapa lama, abang tukang sayur datang dan langsung terjadi diskusi informal dadakan dengan para ibu. Tak berapa lama bu Ina, sebutan tetanggaku yang akrab dipanggil nama anak pertamanya menggamit lenganku, mengajakku duduk di sudut komplek. Dia bertanya dengan berbisik bahwa apakah boleh kita sebagai perempuan berdandan? Dan bagaimana hukumnya? Hmmm…sekilas saya menatapnya dan merangkulnya, saya katakan bahwa kita harus melihat dari sudut pandang Fikih perempuan dan tatanan Islam.
Ya..berdandan, saat ini merupakan kebutuhan bagi perempuan, tak hanya usia muda namun juga menjadi kebutuhan bagi para ibu rumah tangga, bahkan juga usia dini, berdandan seolah menjadi keniscayaan. Sebuah hal yang pasti banyak sekali dialami kaum perempuan, baik yang sedang hamil, sedang diet berat badan, berjuang melawan jerawat, atau yang menghadapi penuaan dini. Kita semua tahu bagaimana cara mengubah sesuatu yang kurang baik dari penampilan kita saat memandang cermin, sekali lagi untuk nilai sebuah kecantikan.
Kecantikan yang identik dengan kaum Hawa, kemudian menciptakan berbagai kebutuhan pasar akan make-up untuk mendorong penampilan para perempuan ini semakin cantik dan tentu saja merasa sempurna. Ingat saat Hawa memutuskan untuk memakan buah terlarang? Dia dan Adam diciptakan dengan sempurna menurut gambaran Allah. Akan tetapi saat kematian berlaku, kita semua akan terus berurusan dengan proses penuaan dan ketidaksempurnaan setiap harinya. Sebagai wanita, penampilan luar kita berdampak besar pada penilaian orang lain terhadap kita. Bagaimana kita dinilai dan dipandang.
Artinya kecantikan pada perempuan ini sebenarnya sebuah persepsi yang dibangun oleh masyarakat umum dan pasar. Meski demikian, ketika menjelma menjadi bagian kebutuhan yang inklusif, maka kemudian berdandan adalah pilihan yang harus dijalani untuk menjaga keindahan dan tentu saja berdandan yang sehat. Lalu bagaimana berdandan dalam hukum Islam? Bagaimana Fikih melihatnya?
Berhias, sebagian ulama mendefiniskan dengan kata “tabarruj” seperti Ibnu Qatadah dan Muqatil, yang menggarisbawahi bahwa ‘tabarruj’ adalah berdandan yang membuat perempuan menjadi lebih genit atau bisa dikatakan berhias secara berlebih-lebihan. Hal ini juga diperkuat oleh surat An-Nuur: 60 dan 31, Al-Ahzab: 33 dan 59, Al-A’raf: 26. Artinya, secara eksplisit dari tafsir ini, berdandan diperbolehkan dalam Islam tanpa berlebihan, tanpa harus merugikan dan tentu menjaga martabat perempuan sendiri.
Dalam Hadis Riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Dalam hadis ini sudah jelas bahwa Allah menyukai umatnya yang mampu menjaga diri, terutama dalam hal kebersihan dan mempercantik diri. Termasuk untuk muslimahnya, apalagi jika ditujukan untuk ibadah.
Ayat lain yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak melarang umatnya berhias disebutkan dalam surah al- A’raf ayat 32. Dalam surah tersebut Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” Artinya penggunaan dandanan ini diizinkan, asal tidak berlebihan, terutama di bagian-bagian tubuh tertentu.
Dalam menggunakan produk-produk kecantikan, muslimah harus berhati-hati dan memperhatikan kandungan di dalamnya. Bahan dasar pembuatan produk itu tidak boleh luput dari perhatian muslimah. Make up yang digunakan hendaknya tidak berasal dari bahan yang haram, berbahaya, maupun memudharatkan. Dalam Hadis Riwayat Baihaqi Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak boleh memadharatkan dan membalas kemadharatan dengan kemadharatan semisalnya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin juga pernah berkata, “Mengenai make up, jika hal itu bisa menambah kecantikan dan tidak membahayakannya, boleh digunakan. Tetapi, saya pernah mendengar bahwa make up itu membahayakan kulit wajah, mengakibatkan kulit wajah berubah menjadi jelek sebelum masa tuanya.
Saya menyarankan kepada para perempuan untuk bertanya kepada para dokter tentang hal ini. Jika berita itu benar maka menggunakan make up itu menjadi haram atau minimal makruh karena semua yang mengakibatkan kerusakan, ada kalanya haram atau adakalanya makruh.”
Adapun beberapa hal yang dilarang dalam etika berhias ini adalah: al-Washilah adalah perempuan yang menyambung rambut yang pendek dengan rambut lain atau yang serupa dengan dengan rambut.
Al-Mustaushilah adalah wanita yang minta disambungkan rambutnya. Al-Wasyimah adalah wanita yang mentato dengan cara menusukkan jarum atau yang semisalnya ke kulit (hingga luka), lalu mengisi luka tersebut dengan celak atau yang semisalnya, yang berefek mengubah warna kulit yang asli menjadi warna lain. Al-Mustausyimah adalah perempuan yang minta ditato.
An-Namishah
adalah perempuan yang mencabut rambut yang ada di wajah seperti alis dan yang
lainnya. Baik dia mencabutnya dari wajahnya sendiri atau dari wajah perempuan lain.
Al-Mutanammishah adalah perempuan yang minta
dicabutkan rambut yang ada di wajahnya.
Al-Mutafallijah adalah perempuan yang minta untuk
direnggangkan gigi-giginya dengan cara dikikir dengan alat pengikir. (Mereka
dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya) karena perkara tersebut merupakan
perbuatan mengubah ciptaan Allah.
Mempercantik diri dengan pengubahan yang tidak bersifat permanen, tetapi hanya sementara waktu, seperti mengenakan hinna` dan semisalnya, hukumnya boleh. Karena pengubahan ini hanya bersifat sementara, yang akan hilang dalam waktu yang cepat. Seperti halnya (berhias dengan) celak dan yang lainnya.
Maka wajib untuk berhati-hati dari segala perkara yang merupakan upaya pengubahan atas ciptaan Allah dan memberi peringatan darinya, serta menyebarluaskan peringatan itu di kalangan umat agar suatu kejelekan tidak menyebar dan menjalar sehingga akhirnya sulit untuk memperbaikinya.” (Majmu’ Rasa`il, 17/20-21)
Dengan demikian, secara hukum Islam, berdandan bagi perempuan secara keseluruhan boleh baik yang bersuami maupun yang belum menikah. Koridornya adalah tidak berlebihan atau ‘tabarruj’. Bahkan jika diniatkan untuk ibadah dan menjaga martabat pada perempuan sendiri seperti perempuan yang harus melakukan penyempurnaan bagian wajah karena ada cacat fisik yang tak bisa diobati dan mengharuskan untuk prosedur perbaikan wajah melalui operasi juga diperbolehkan yang artinya dalam kondisi darurat. Jadi, tak perlu ragu untuk berdandan wahai kaum perempuan karena berdandan adalah bagian dari ibadah yang diniatkan untuk menjaga diri dan martabat perempuan.
Hal inilah yang saya jelaskan pada para perempuan di komplekku, terutama para ibu seperti Ibu Ina yang tentunya pengetahuan ini menjadi penting agar perempuan menjaga dirinya dan tidak terkonstruksi dengan nilai kecantikan yang justru me-madlaratkan diri kita.
Jambi, 31 Agustus 2019
- 4 Cara Smart Dalam Membuat Perjanjian Pranikah - 15/08/2022
- Makna Hijab dan Muslimah Kekinian di Tengah Pandemi Covid 19 - 21/07/2020
- Mema’afkan Perselingkuhan, Mungkinkah? - 09/11/2019