Jika si ‘Dia’ Marah? Harus Bagaimana?

Ilustrasi: freepik.com

Betapa terkejutnya sahabat dari Umar Ra, yang datang akan bertamu. Namun ketika sampai di rumah Umar R.a, sang sahabat yang tadinya akan menceritakan bagaimana perilaku sang istri justru menemukan Umar R.a yang sedang dimarahi sang istri. Bahkan Umar hanya berdiam diri saja ketika sang istri sedang menumpahkan kemarahan. Saat ditanya, kenapa diam saja, Umar menjawab justru begitu sikap kita sebaiknya lemah lembut dengan sitri, karena dialah yang sudah susah payah memasak untuk kita, mencuci pakaian kita bahkan merawat anak-anak kita serta menjaga kita saat ia kita tinggalkan. Sang sahabat ini pun seketika menangis dan mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah untuk meminta maaf kepada istrinya.

 Laa Taghdhab Wa Lakal Jannah (Jangan marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab Shahih at-Targhib no. 2749). Hadis ini tentu mengingatkan kita bagaimana perilaku Rasulullah dalam keluarganya. Sungguh kalimat yang sangat indah, singkat dan sarat makna. Keindahan kalimat ini juga menggambarkan bagaimana sebuah amarah dapat dimanage dan justru mendapatkan hadiah yang istimewa di mata Allah.

Tak dapat dipungkiri bahwa marah adalah tabiat manusia yang tak bisa dihindarkan atau bahkan dihilangkan. Namun tentu saja marah bisa diatur agar tidak menimbulkan dampak negatif terutama bagi diri kita sendiri. Dalam Surat Ali Imran ayat 133 dan ayat 134, Allah memuji orang yang menahan amarah sebagai orang yang bertakwa. Allah juga memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada orang yang menahan marah, yaitu berupa surga yang abadi.

Sahabat Qobiltu, menikah merupakan bagian dari membangun relasi, menanamkan kepercayaan bersama, berkomitmen dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Akan tetapi kadangkala dalam proses perjalanan, tak selamanya selalu indah dipenuhi dengan cinta. Ada kalanya rasa kesal dan jenuh bermunculan. Bahkan juga mulai muncul rasa marah. Rasa marah bisa dialami oleh siapa saja, baik oleh anak-anak, orang dewasa hingga orang tua dalam rumah tangga kita. Seringkali rasa marah pun menyebabkan perpecahan di dalam keluarga. Salah satu contoh yang paling sering terjadi adalah ketika seorang istri sedang marah terhadap suaminya. Namun kemarahan istri bisa diungkapkan dalam bentuk kemarahan yang sesungguhnya ataupun dipendam degan diam seribu bahasa.

Biasanya, rasa marah yang dialami oleh seorang istri terhadap suami dipicu oleh hal-hal yang sangat sepele. Misalnya dipicu oleh rasa curiga, cemburu, hingga permasalahan rumah tangga seperti keuangan keluarga ataupun hanya masalah rasa makanan yang kurang enak ataupun lainnya. Bahkan, salah meletakkan handuk basah di tempat tidur pun bisa memicu kemarahan seorang istri.

Menanggapi kemarahan tersebut, terkadang ada suami yang justru ikut terpancing emosinya sehingga berbuat kasar terhadap sang istri. Padahal perbuatan kasar seorang suami terhadap istri adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam. Lalu apakah yang harus dilakukan oleh seorang suami saat menghadapi kemarahan sang istri?

Pertama, suami harus tetap bersikap sabar dan tidak terpancing emosi. Sebagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh Khalifah Ummar bin Khattab: “Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram-sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”

Sahabat Umar mencontohkan kesabaran dalam menghadapi istri yang marah dengan tidak membalasnya dengan ucapan apapun dan tidak melakukan tindakan kasar. Umar R.a. justru mengamalkan kesabaran dengan sempurna, yakni menahan diri untuk tidak terjebak emosi dengan diam, mendengarkan sang istri dan berusaha mengingat-ingat kebaikan sang istri.

Kedua, bersikap memaafkan kesalahan istri. Penting bagi kita meneladani apa yang dilakukan oleh Umar R.a, dengan hati yang luasUmar memaafkan apa yang telah dilakukan istrinya, bahkan tidak tersinggung dan tak sakit hati terhadap sang istri. Bahkan Umar tidak terbawa emosi dengan berbalik memarahi istri.

Dalam Islam, memaafkan merupakan hal yang sangat dianjurkan, sebagaimana Allah berfirman, “Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 159). Konteks ini tentu dapat dimaknai lebih luas, terlebih pada sang istri yang merupakan partner dalam kehidupan rumah tangga hingga ke akhirat.

Ketiga, sebagai suami hendaklah bersikap adil terhadap istri. Hal ini juga ditunjukkan oleh Umar R.a. dengan memberikan istri hak untuk didengar, meskipun aspirasi yang disampaikan oleh sang istri dalam bentuk kemarahan, namun hal tersebut sudah menjadi suatu bentuk keadilan bagi seorang istri.

Keempat, ketika sedang marah, sebaiknya tidak terlihat atau bahkan melibatkan orang lain, baik anggota keluarga maupun orang lain. Persoalan rumah tangga sebaiknya diselesaikan sendiri antara suami dan istri, tidak perlu melibatkan orang lain meskipun itu orang tua sendiri atau mertua. Hal ini bahkan telah diterapkan oleh Rasulullah sendiri. Suatu ketika Aisyah berbicara dengan keras dan lantang kepada Rasulullah dari bilik kamar. Abu Bakar as-Siddiq yang saat itu bertamu di rumah Rasulullah segera mengetahui kalau anaknya (Aisyah) dan menantunya (Rasulullah) sedang bertikai.

Mendapati hal itu, Abu Bakar meminta izin Rasulullah untuk menemui putrinya. Ketika sudah berhadapan dengan Aisyah, Abu Bakar langsung mengangkat tangannya hendak memukul Aisyah karena telah berbicara keras dengan Rasulullah. Namun kemudian Rasulullah mencegahnya. Dalam hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah, dimana Abu bakar yang notabene mertuanya sendiri, mencegah beliau untuk ‘ikut campur’ dalam permasalahan rumah tangganya. 

Kelima, menghilangkan kemarahan terhadap istri dengan mendekapnya. Seperti yang dilakukan Rasulullah, ketika seorang suami atau istri marah atau berselisih dengan pasangannya maka hendaknya ia langsung memeluk pasangannya. Jangan malah menampar atau memukulnya. Bahkan Rasulullah mengatakan bahwa, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR. Tirmidzi)

Sebagai seorang suami, baik Rasulullah maupun Umar sangat mengerti dan memahami dengan baik terkait apa yang seharusnya menjadi hak istri, bagaimana memperlakukan istri dan bagaimana menghargai istri dengan membangun relasi yang setara, bahwa istri merupakan partner kehidupan dalam rumah tangga. Bahkan, kedua manusia yang baik akhlaknya ini selalu mengingat jasa-jasa istrinya, menghargai dan menghormati sang istri sehingga tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas saat sang istri sedang marah. Tentunya hal ini sangat patut diteladani jika kita menginginkan kehidupan harmonis hingga di akhirat kelak. []

.

Nor Qomariyah
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 2 visit(s) today

Nor Qomariyah

Social & Safeguard Consultant. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Universitas Muhammadiyah Jambi.

Nor Qomariyah
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x